SEMAKIN diperbincangkan, semakin menjadi. Inilah asap yang menyerang kampung saya dua minggu terakhir. Di koran-koran dan televisi ramai orang bicara soal pembakaran lahan hutan dan perkebunan, ancaman penyakit ISPA, juga ketegangan dengan negara tetangga karena ekspor kabut beracun. Toh, asap tetaplah asap… dan saya tetap harus hidup di rumah yang setiap pagi sudah tak ada bedanya dengan cerobong asap.
Anak-anak saya mulai batuk. Badan mereka demam. Tak ada jalan untuk menghindar apalagi memilih udara yang harus dihirup. Saya pengidap asma, dan beberapa hari terakhir sudah merasakan dada menyesak. Di rumah, saya baru berani keluar kamar setelah jam 9 pagi, ketika matahari secara perlahan menembus kabut beracun itu dan, entahlah, apakah membuat asap naik ke angkasa atau menjatuhkannya ke tanah.
Setiba di kantor asap masih membaui seluruh penjuru ruangan. Beberapa rekan yang harus bekerja malam hingga dinihari merasakan siksaan yang lebih hebat lagi. Maklum, asap tebal itu menyelimuti kampung kami sejak pergantian hari hingga matahari terbit keesokannya.
Kabut asap sebenarnya bukanlah barang baru. Setiap tahun saya dan semua penduduk kampung ini pasti mengalaminya. Biasanya dalam kurun waktu 2 minggu hingga 2 bulan. Tergantung seberapa panjang kemarau datang. Maklum, di saat kemarau inilah orang-orang mulai membakar area kebun dan sawah mereka, untuk menyongsong musim tanam ketika penghujan tiba. Tak ada jalan lain untuk membersihkan lahan kecuali dengan membakar. Apalagi bekas bakaran itulah yang justru diharapkan menyuburkan tanah.
Kecuali itu, asap juga membubung dari lahan-lahan gambut yang terbakar sendiri. Sebagian besar wilayah di sekitar kampung saya adalah areal gambut, yang saat kemarau sangat mudah terbakar. Bahkan hanya dari gesekan semak kering yang ditiup angin, api menjadi. Tak ada akal untuk memadamkannya, karena kebakaran terjadi di tengah lahan gambut yang tak mungkin dijangkau mobil pemadam.
Hari-hari terakhir ini kami seperti hidup di negeri kabut yang berbau. Jarak pandang di jalan raya tak lebih dari 20 meter. Orang-orang menyalakan lampu kendaraan, menutup wajah dengan kain basah atau masker sekadarnya. Siang hari agak lumayan, meskipun udara tetap tidak sehat. Malam bertambah dingin dan pagi adalah saat-saat terburuk. Keluyuran di luar sama tidak sehatnya dengan berdiam di rumah. Sebab asap mengepung seisi ruangan lewat celah-celah ventilasi.
Lelah memprotes pemerintah. Tak ada regulasi apapun untuk mengurusi pembakar lahan. Atas nama kemanusiaan, urusan begini menjadi ditoleransi karena katanya para petani adalah orang-orang yang juga mesti dilindungi. Tapi apa gunanya pertanian maju kalau penduduknya jadi penyakitan semua?
Tahun-tahun sebelumnya pemerintah mengantisipasi dengan melakukan hujan buatan. Hasilnya cukup lumayan, karena guyuran air hujan sangat cepat menghilangkan asap. Tahun ini, tak terlihat ada gerakan; kecuali sekadar membagi-bagi masker. Bayangkan, apa nyamannya pakai masker seharian?
Begitulah. Sekadar keluh kesah dari seorang anak kampung yang sedang dikepung asap…
Membagikan masker emang nggak bijak, mosok nggak ada alternatif penanganan lainnya pak? wah kalo saya di sana sudah bengek deh ngirupin asep terus
bahaya asap…. hati hati pak!
nampaknya perlu dikenakan sangsi ekonomi baru bisa membuat regulator kebakaran jenggot, carrots & sticks approach nampaknya kurang mengena-mesti sticks & sticks.
Mudah2an kunjungan in imenjumpaimu dalam keadaan sehat, salam kangen dari afrika barat.
Duh, ikut prihatin.. Semoga asapnya cepat berlalu..
Salam.
heran….! tiap taon selalu terjadi kok tidak ada antisipasi ya….! gemblong bener2 gemblong negri ini.
herannya yang mbakar kok ya kapok-kapok gitu lho. apa mau nunggu ngga ada lagi yang bisa dibakar?
yang tau situasi kotanya kan mas sendri,
kira kira ada ga sih yg bisa dilakukan?
karena kalau memang ini selalu setiap tahun,
kok bisa??
bukankan hanya seekor keledai yang bodoh yang terjatuh di lubang yang sama?
aku miris banget deh denger ini, dan baca ini…! SEDIH!
…asap ada, tentu karena api.
lama lama malah sekedar dianggap angin eh ‘asap’ lalu ajah sama pemerintah. jan angel tenan
Tolong informasikan apabila ada lowongan pekerjaan di banjarmasin.
Besar harapan dan cita-cita saya untuk dapat bekerja di banjarmasin.
Nama saya melinda panggabean, 24 tahun, D3 Administrasi niaga Politeknik Negeri Bandung (Politeknik ITB)
Atas bantuan dan perhatiannya, saya ucapkan banyak terima kasih.
Email saya : melin_chantique@yahoo.com
Telp: 085624167332
tolong informasikan lowongan kerja di banjarmasin.
besar harapan dan cita-cita saya untuk dapat bekerja di banjarmasin.
Nama: Melinda
Email: melin_chantique@yahoo.com
Telp: 085624167332