Â
Banyak orang menikmati ketidaklaziman, terutama dan biasanya diatasnamakan selera. Demi mempertahankan selera uniknya, ada kawan yang menghabiskan minum lebih dulu sebelum menyantap makanan. Selesai makan, dia tak mau minum lagi. “Kalau habis makan kita minum, habislah semua kelezatan yang kita rasakan. Untuk apa masakan dibuat lezat-lezat kalau begitu…”
Saya termasuk yang khawatir disebut tak lazim. Karena itu hampir semua sisi hidup saya rasanya berlangsung seperti orang kebanyakan. Sulit menjawab pertanyaan, misalnya; apa yang unik dari diri Anda? Kecuali menyangkut postur yang memang sudah bawaan lahir, saya nyaris tak punya jawaban lain.
Tetapi, sebagai orang yang mengaku lazim, saya justru penggemar ketidaklaziman. Mungkin karena sejak muda sudah dididik menjadi wartawan; yang mata dan telinganya memang harus selalu terbuka untuk hal-hal sedemikian. Meskipun, dalam banyak kesempatan, saya sering mikir juga; betapa jahatnya mengeksploitasi ketidaklaziman orang lain untuk prestasi di tempat kerja.
Suatu sore, di perjalanan sepulang dari kantor, sebuah ketidaklaziman saya saksikan di kejauhan. Sebuah truk berjalan lambat, hmm… tak seperti biasanya, mundur! Saya mendekat, terus mendekat, menyaksikan bagaimana kendaraan berwarna kuning yang biasanya jadi sarana angkutan batubara ini ternyata tidak sendiri. Dia ditarik (atau lebih tepatnya diseret?) truk yang lain.
Tangan saya sigap merogoh kamera digital di boks tengah mobil. Membuka bungkusnya dan mengaktifkan tombol on. Sekian detik kemudian, sepertinya refleks, jari telunjuk kanan memencet shutter sementara telapak tangan menggenggam body kamera sekadarnya. Dalam waktu yang sama saya masih harus mengemudi membuntuti dua truk yang saling memantati (pantat-pantatan) itu. Hanya dapat dua frame sebelum akhirnya saya harus berbelok arah menuju rumah.
Banyak momen tak lazim saya jumpai justru dalam situasi yang juga kurang lazim. Misalnya, beberapa kali melihat pengendara sepeda motor membonceng anaknya yang masih bayi di jok belakang, tanpa diikat atau pengaman lain. Sepertinya tak khawatir kalau anaknya terjatuh. Juga sebuah keluarga, ayah, ibu dan 4 anak berkendara roda dua dan uniknya tetap bisa ngebut.
Ketidaklaziman menghias hidup kita sehari-hari. Dalam banyak pengalaman, sesuatu yang tadinya tak lazim itu berubah menjadi lazim. Waktu dan kebiasaan yang membuatnya begitu. Dulu orang ngomong sendiri dengan ponsel ber-handsfree bisa dianggap gila. Sekarang, sedikit orang gila saja yang menganggap seperti itu.
Hmm… mudah-mudahan posting kali ini bukan bagian dari ketidaklaziman yang sedang tumbuh di pikiran saya.
Selamat menunggu waktu berbuka…
++ Mungkin karena sejak muda sudah dididik menjadi wartawan; yang mata dan telinganya memang harus selalu terbuka untuk hal-hal sedemikian ++
O, wartawan harus gitu ya? Saya pengin jadi wartawan ah. Tapi ngelamar jadi reporter di koran Anda saya sdh ketuaan kan? Duh nasib…
Om Wien, enak bener jalan-jalan (sambil motret) tapi tetep dapat bayaran… Ajari saya untuk mengikuti jejak Anda, dong…. (tak terbayang betapa terjalnya jalan yang mesti dilalui untuk menjadi orang seperti Anda dan Pama Tyo :p)
foto ini diambil saat lagi nyupir?
kereeeeeen…..!!!
*tepok tangan*