HIDUP rasanya semakin susah saja. Pemerintah yang mestinya memberi kesempatan lebih besar kepada rakyat untuk sejahtera, justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan. Gegap gempita tahun baru tak memberi semangat yang lebih baik karena persis di awal tahun kebijakan menaikkan harga dilakukan secara serentak; justru untuk urusan yang sangat vital seperti listrik dan BBM.
Pemerintah tak ingin kehilangan muka. Lantas hadirlah program-program subsidi untuk rakyat miskin. Mulai operasi pasar, beras murah, berobat gratis hingga pembebasan biaya pembuatan KTP. Orang-orang tak berduit dan dicap miskin itu semakin dimarginalkan saja. Secara terstruktur pemerintah memasukkan mereka ke dalam golongan yang harus dikasihani dan diberi bantuan.
Pelan-pelan, sikap pemerintah ini justru menumbuhkan mental miskin di sebagian masyarakat kita. Mereka tidak saja merasa hidup berkesusahan, tetapi juga hidup dalam cap buruk kemiskinan – yang untuk itu harus mendapat bantuan (disubsidi) supaya survive. Pemerintah boleh dibilang sukses melakukan poor building, pembangunan kemiskinan – setidaknya dalam segenap benak rakyat kita yang kurang mampu.
Ini tentu saja buruk. Dan pemerintah adalah yang paling bertanggung jawab ketika banyak rakyat kita lantas bermental kere. Semangat hidup nyaris tak ada. Toh sejak kecil mereka sudah terbiasa hidup dari belas kasihan; dengan wajah papa dan tangan yang ditengadahkan.
***
Saya lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayah hanya buruh swasta yang, pada masa saya kecil, upahnya jauh di bawah standar hidup layak. Ibu lebih memilih mengurus anak-anak daripada bekerja. Tapi, saya dan 4 saudara lain dibesarkan dalam semangat rich family, keluarga berada. “Sebab tangan di atas masih lebih baik daripada tangan di bawah,†begitu ibu sering berkata.
Tidak merasa miskin itu penting. Sebab selain memiliki harga diri, perasaan seperti itu membuat kita berusaha maju. Saya kira sangat banyak keluarga yang juga mengajarkan hal ini kepada anak-anaknya. Bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras… begitu terus sepanjang hidup.
Nah, ketika pemerintah mengeluarkan program-program subsidi, menggolongkan rakyatnya yang kurang mampu ke dalam barisan yang harus dibantu, berkoar-koar bahwa orang miskin tak bisa hidup tanpa subsidi, maka pemerintah justru sudah membunuh kesempatan rakyatnya untuk maju.
Yang diperlukan orang tak berduit itu bukan subsidi, melainkan kesempatan yang lebih besar untuk mandiri. Mereka perlu stabilitas harga-harga. Mereka perlu kantong-kantong pekerjaan supaya bebas dari lilitan pengangguran. Mereka perlu biaya pendidikan yang murah tanpa harus ada embel-embel “bantuan pemerintahâ€. Pendeknya, mereka perlu survive tanpa harus merasa semua yang diterima itu adalah belas kasihan orang lain.
***
Saya ingat cerita dua bersaudara. Ayah mereka meninggal, tinggal ibu yang menjadi single parent dan seorang nenek yang sudah renta. Satu-satunya sumber penghidupan keluarga itu adalah upah yang diperoleh sang ibu dari menjahit pakaian orang. Mereka semakin menderita ketika sang ibu sakit. Aliran listrik diputus karena tak bayar rekening. Air bersih pun terhenti karena alasan yang sama. Lemari makan mereka nyaris tak pernah ada isinya. Satu-satunya bekal hidup adalah kebun sayuran yang hasilnya masih dapat dimasak dengan membuat api unggun di belakang rumah.
Lalu pada suatu hari, sang adik pulang dari sekolah dengan menangis. “Besok kami disuruh membawa sesatu ke sekolah untuk diberikan kepada orang miskin. Saya harus bawa apa?â€
Sang ibu langsung menyahut; “Aku tidak tahu siapa lagi yang masih lebih miskin dari kita.â€
Nenek yang sedari tadi diam bergegas mengambil sebotol selai buatan sendiri. Dengan kertas tisu dan sepotong pita biru, selai itu dibungkus rapi. Keesokan harinya, Adik ke sekolah, pergi dengan bangga membawa “sesuatu untuk orang miskinâ€.
Setengah berbisik, nenek itu berkata: “Jika kamu membuat anakmu merasa bahwa ia orang miskin pada umur semuda dia, maka ia akan menjadi orang miskin seumur hidup.†***
Ya,mental kere…itu yang membuat bangsa ini sulit untuk maju. Sebenarnya, bukan hanya rakyat miskin yang dianggap tidak bisa hidup tanpa subsidi itu saja yang bermental kere. Masyarakat,para pejabat,pekerja pemerintah, bahkan anggota dewan “yang terhormat” pun sebenarnya juga punya mental tempe. Coba kita tengok kebijakan internal yang baru saja disahkan oleh wakil rakyat di DPR RI;kenaikan gaji anggota DPR.Ironis…ketika bangsa ini sedang dalam kesususahan, mereka sibuk memikirkan kepentingan mereka sendiri, dengan mengusulkan,membahas kemudian mensahkannya dan itu sangat self-interest oriented(memikirkan perut sendiri). Lihat lagi ketika ujian/penerimaan CPNS,Kepolisian,dll antrinya pasti bejibun.Beberapa teman sarjana yang ikut saya tanya “kok pengen jadi PNS sih?”, dan jawabannya sih biar enak,gaji stabil biar kerja atau nggak,di kantor bisa santai,plus masa tua terjamin pensiun. Bahkan ada yang rela membayar belasan bahkan puluhan juta rupiah untuk bisa diterima di lembaga2 milik negara itu,padahal gaji bulanan yang akan mereka terima paling-paling sekitar Rp.1jt bahkan di bawahnya. Kalau seperti itu,kita bisa bayangkan apa yang akan mereka lakukan ketika mendapatkan pekerjaan/posisi yang diinginkannya,padahal pekerjaan itu merupakan pelayanan untuk negara/publik.
Pantas saja kinerja aparat2 pemerintah masih memble,sering disalahgunakan bahkan dijadikan ladang ngobyek.
Nah,gimana bangsa ini bangsa ini mau maju kalau diisi orang2 yang “kerja” yang orintasinya cuma mikirin perut dan bukan achievement atau self-esteem oriented dari pekerjaannya.
Ini manis sekali:
Setengah berbisik, nenek itu berkata: “Jika kamu membuat anakmu merasa bahwa ia orang miskin pada umur semuda dia, maka ia akan menjadi orang miskin seumur hidup.