Perkembangan industri pers yang demikian dahsyat belakangan ini telah menggeser cara berpikir sebagian besar jurnalis dalam memahami berita. Ketika dulu akurasi menjadi urusan terpenting, sekarang mungkin tidak lagi. Sebab ada yang (ternyata) lebih penting dari itu; apakah sebuah berita layak dijual.
Berita dengan “pendekatan dagangan” macam ini kemudian memunculkan kebiasaan baru dalam menentukan skala prioritas ketika sebuah berita hendak diukur. Rangking pertama haruslah ditempati poin apakah berita tersebut bakal dibaca orang atau tidak, tak peduli soal akurasi karena itu berada di nomor urut ke sekian. Jurnalis hari ini seolah dihadapkan pada dua pilihan: repot-repot bikin berita akurat tapi ternyata tak dibaca, atau cukup menulis berita dengan data sekadarnya, setengah bombastis, sesekali bohong dan tipu-tipu, tapi laku.
Tentu saja tak tak semua seperti itu. Masih banyak juga jurnalis yang memegang teguh prinsip-prinsip keakuratan dalam menulis. Apalagi memang lembaga pers (media) yang kerap menerapkan “jurnalisme bohong dan tipu-tipu” biasanya segera ketahuan publik dan pada saatnya mati sendiri karena ditinggal pembaca.
Tapi soal akurasi, memang soal semua insan pers, tanpa terkecuali. Setiap pengelola media pasti pernah merasakan bagaimana repotnya mengurus komplain sumber berita yang merasa omongannya dipelintir, marah-marahnya sekelompok orang karena keburukannya diberitakan, atau selembar surat somasi yang kerap berujung gugatan, sebagai akibat dari tulisan yang boleh jadi memang benar-benar bermasalah.
Tak ada media yang bersih dari kesalahan. Kotak penjelasan berisi ralat atau koreksi seolah menjadi rubrik tetap. Belum lagi iklan permohonan maaf sebagai jalan terakhir dari kebuntuan negosiasi, daripada diperkarakan di pengadilan dan bakal kalah – lantas semakin malu. Kesalahan yang disoal bukan saja karena kekeliruan data, tetapi sering juga karena hal-hal sepele seperti salah ketik, salah menulis nama, atau bahkan keliru memasang foto.
Begitu seringnya pers bermasalah, sampai-sampai urusan ralat dan meminta maaf itu kemudian sedemikian rupa berusaha dihindari. Ada semacam pemahaman bahwa kesalahan baru sah sebagai kesalahan apabila ada yang marah-marah atau menuntut. Kesalahan baru dianggap salah ketika ketahuan. Ketika sebuah berita keliru tapi tak ada yang komplain, maka abaikan saja perbaikannya, meskipun si pembuat berita belakangan tahu bahwa beritanya itu keliru. Toh, kekeliruan itu tak disoal pembaca ataupun sumber berita.
Dalam konteks inilah persoalan hak jawab kerap diabaikan. Padahal dengan atau tanpa kekeliruan, hak jawab (mestinya) wajib diberikan kepada orang atau kelompok yang menjadi objek berita. UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dengan jelas menyatakan bahwa pers wajib melayani hak jawab, yakni hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberi tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (pasal 5 ayat 2). Artinya, kalau untuk “fakta yang merugikan” saja pers wajib memberi kesempatan hak jawab, apalagi untuk isu, gosip atau malah fitnah yang tentu tak kalah merugikan.
Sayangnya UU Pers tidak mengatur secara detail soal-soal yang justru sering menjadi masalah. Misalnya tentang pencemaran nama baik, yang sampai hari ini masih saja menjadi alasan sangat mudah untuk menjerat insan pers ke pengadilan. Di tengah perjuangan masyarakat pers untuk menjadikan UU Pers sebagai lex specialis, soal-soal begini menjadi pengganjal karena bagaimana mungkin soal pencemaran nama baik itu, misalnya, tidak dibawa ke produk hukum di luar UU Pers, sementara UU Pers sendiri tidak mengaturnya.
Di pihak lain UU Pers memberi penjelasan bahwa peranan pers adalah (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pasal mengenai peranan pers ini kerap menjadi tameng untuk melindungi jurnalis dari tuduhan “memberitakan keburukan orang lain”, karena keburukan itu, misalnya, berkaitan dengan kepentingan umum dan karena itu publik berhak tahu. Ketika urusannya berkaitan dengan hak masyarakat untuk tahu, maka mestinya pers bukan saja melulu diwajibkan memenuhi prinsip hak jawab, tetapi juga diberi keleluasaan untuk menggunakan, katakanlah, hak tanya.
Banyak pihak yang, karena berita buruk mengenai dirinya, baru merasa memiliki hak untuk menjawab dan menjelaskan. Padahal mestinya jawaban dan penjelasan itu sudah harus disampaikan karena itu adalah hak publik untuk tahu, tanpa harus menunggu diguncang-guncang berita media lebih dulu. Ketika hak jawab digunakan karena terpaksa; mau tidak mau harus menjelaskan, maka pers sering menjadi sasaran kemarahan.
Sejauh ini pengelola media sebenarnya sudah cukup berusaha melakukan asas pemberitaan yang berimbang, dengan menggali informasi tidak hanya dari satu sumber. Meskipun memang untuk media harian kerap terganjal kejaran deadline, sehingga konfirmasi ke multi-sumber sering terabaikan. Lagi pula, ada prinsip-prinsip run news di mana sebuah wacana publik perlu mendapat porsi pemberitaan berhari-hari sehingga silang pendapat akan berlangsung tidak hanya dalam satu kali edisi, melainkan menjadi topik utama selama waktu tertentu. Ini kerap membuat hak jawab tertunda, atau lebih tepatnya sengaja ditunda, untuk mempertahankan keberlangsungan isu atau wacana.
Artinya, hak jawab harus dipahami tidak saja sebagai “kewajiban pers” dalam memberi kesempatan sumber berbeda atau objek berita untuk menyampaikan informasi sesuai versinya, tetapi juga sebagai usaha memenuhi prinsip-prinsip cover both side, yang, seharusnya sih tidak dibuat kaku dengan harus terbit pada edisi yang sama. Hak jawab dalam pengertian seperti ini bisa dimuat pada edisi yang berbeda.
Dalam situasi di mana hak jawab berkaitan dengan sengketa berita, memang itulah jalan keluar terbaik, mengingat gugatan di pengadilan selain akan memakan banyak energi dan biaya, juga secara substansial sesungguhnya tidak menyelesaikan persoalan. Ketika si penggugat menang, misalnya, informasi mengenai kemenangan itu belum tentu akan memulihkan atau meluruskan informasi yang sebelumnya dianggap salah. Proses pengadilan yang memakan waktu malah sangat mungkin membuat publik sudah lupa hal-ihwal penyebab sengketa ketika perkara diputuskan.
Memang ada sementara anggapan bahwa soal hak jawab ini sebenarnya hanya memberi peluang kepada pekerja pers untuk bertindak sembrono; memberitakan sebuah informasi tanpa harus repot memverifikakasi apakah datanya benar atau tidak, karena kalau belakangan ketahuan salah, tinggal diralat dan dimintakan hak jawab kepada mereka yang keberatan.
Padahal, hak jawab mesti dipahami sebagai pelengkap sebuah informasi, karena betapa pun informasi selalu berubah. Sebuah hak jawab belum tentu merupakan informasi yang meluruskan, sebab kadang-kadang hak jawab dipakai oleh pihak yang bersalah untuk cuci tangan atau lari dari tanggung jawab. Hak jawab tak jarang justru menjadi alat untuk membelokkan substansi persoalan, menyamarkan sesuatu supaya tidak semakin terungkap di hadapan publik.
Di atas semua itu, penggunaan hak jawab adalalah pilihan cerdas sumber berita yang merasa dirinya dirugikan, karena berperkara di pengadilan hanya akan menghabiskan waktu dan biaya, sementara kerugian akibat berita tak segera terselesaikan. Menjelaskan sebuah informasi yang dianggap keliru, justru merupakan jalan terbaik ketimbang informasi itu beredar simpang-siur. Bagi lembaga pers, hak jawab juga alat untuk melengkapi sebuah informasi yang disampaikan kepada publik, supaya semakin lengkap dan terang. Pers, betapa pun, sangat butuh jawaban, tanpa harus diajari bahwa itu sebenarnya “hak” sumber berita.
Maka, gunakanlah hak jawab Anda, sebelum ditanya. ***
Tulisan ini disampaikan pada acara Diskusi Sosialisasi Mekanisme Hak Jawab, Kode Etik Jurnalistik dan Standar Organisasi Wartawan, yang diselenggarakan Dewan Pers di Banjarmasin, 22 Juni 2006. Selain Windede, pembicara dalam diskusi ini adalah RH Siregar, Leo Batubara dan Uni Z. Lubis, ketiganya dari Dewan Pers.