Dalam banyak kesempatan saya bangga memperkenalkan diri sebagai orang Kalimantan. “Lelaki dari Borneo,” begitu ucap saya dalam sebuah jabat tangan.
Kadang-kadang pengakuan sebagai orang Kalimantan bisa bikin saya jauh lebih bangga kepada diri sendiri daripada mengaku orang Indonesia. Terutama bila perkenalan itu terjadi dengan orang di negeri lain. Entah kenapa.
Mungkin, saya termasuk orang Kalimantan yang mengutuk rakusnya orang-orang di Jakarta mengeduk kekayaan bumi Borneo. Mengambil gas, minyak, emas, batubara, untuk membangun jalan mulus dan lebar di Pulau Jawa, sementara kami masih harus menyusur sungai sambil mengayuh dayung di atas jukung.
Penduduk di pulau superbesar dengan kekayaan alam luarbiasa seperti Kalimantan mestinya bisa hidup makmur andai saja diperlakukan lebih adil. Sayangnya, pikiran semacam itu baru bisa dijadikan mimpi. Yeah, mimpi pun, kalau masih boleh, lumayan juga.
Datanglah ke Kalimantan. Di udara, ketika hendak mendarat, yang Anda lihat adalah hamparan tanah gelap yang hijau oleh semak. Tak ada lagi hutan karena telah musnah ditebangi. Permukiman pun hanya seperti jejeran jamur di pokok pohon; menempel di sepanjang alur sungai yang berkelok.
Memang ada juga kota-kota yang sekarang maju dan relatif modern. Sebutlah Balikpapan atau Pontianak. Juga Tenggarong dan Tarakan. Tetapi kemajuan itu hanya memakan sedikit sekali lahan Kalimantan. Keterbelakangan masih jadi bagian terbesar. Bahkan jalan antarprovinsi yang menghubungkan Kalteng-Kalsel pun beberapa hari terakhir telah menjadi kubangan dan tak bisa dilewati. Penduduk di dua provinsi ini hanya bisa menikmati kesengsaraan itu sambil menonton truk-truk batubara yang setiap hari mengangkut emas hitam demi keuntungan cukong-cukong.
Saya miris melihat betapa di pulau yang kaya ini masih ada puluhan anak mati karena kurang gizi. Sementara di saat yang sama pejabat-pejabat berpesta, wakil rakyat jalan-jalan dengan alasan kunjungan kerja, dan orang-orang kaya sibuk dengan urusannya sendiri.
Dari udara, di perjalanan Balikpapan-Banjarmasin, dalam lamunan kesendirian di samping jendela pesawat, saya menengok kampung-kampung kecil di bawah sana. Entah apa mereka juga tercatat sebagai penduduk Indonesia. Apa iya pejabat-pejabat negara sempat mikirin orang-orang pelosok yang jauh dari hiruk-pikuk politik itu. Jangan-jangan mereka memang bukan urusan penting. Seperti halnya Kalimantan yang sejak dulu memang tak pernah dianggap penting.
Apa untuk menjadi penting, Jakarta perlu menunggu Kalimantan bergolak seperti Aceh dan Papua?