KONON, di akhirat nanti, setiap negara mendapat sebuah jam khusus. Jam itu sangat istimewa karena bisa menunjukkan tingkat kejujuran pejabat pemerintah suatu negara. Makin jujur, makin lambat pula jalannya jarum jam, demikian juga sebaliknya.
Jam Filipina berputar kencang. Artinya benar saja tuduhan bahwa Marcos banyak korupsi. Demikian juga Kongo, negara-nya Mobutu Seseko, yang berputar lebih cepat lagi. Jam untuk sejumlah negara lain bervariasi. Kamerun dan China termasuk cepat. Amerika agak cepat, sementara Iran berjalan perlahan.
Namun anehnya di situ tak ada jam negara kita, Indonesia. Maka nyeletuklah seseorang: “Lho jam Indonesia maaana?” tanyanya menyelidik. Sang malaikat pun menjawab dengan tenang dan kalem; “Kami taruh di belakang dapur, sangat cocok dijadikan kipas angin.”
***
Tentu saja cerita tadi tak tersimpan dalam kitab-kitab suci yang bercerita mengenai surga-neraka. Juga tak ada dalam riwayat sejarah manusia. Cerita itu, sungguh, sekadar anekdot. Tapi saya sungguh kecewa membaca anekdot itu. Seperti halnya kisah-kisah humor yang kerap merendahkan martabat negeri ini.
Entahlah, atau memang Indonesia sudah terlalu buruk sehingga sulit membuat hal-hal baik yang tersisa menjadi lucu. Sehingga bahkan dalam situs-situs humor berbahasa Inggris pun Indonesia selalu menjadi objek humor (terutama politik) yang sangat lucu, yang membuat semua orang, termasuk kita anak negeri ini, tertawa terbahak.
Tak lama setelah Suharto lengser, bermunculan bundel-bundel humor sepanjang orde baru, yang diciptakan, atau tercipta begitu saja lewat gerakan-gerakan bawah tanah. Humor-humor itu sebenarnya sudah lama beredar secara “ilegal”, entah lewat perbincangan kalangan aktivis, milis-milis gerakan di internet, atau kertas fotokopian.
Kemudian terbitlah buku-buku kumpulan humor itu, termasuk salah satunya berjudul “Mati Ketawa Cara Daripada Suharto”. Saya sempat dikirimi seorang kawan “buku saku” berisi humor-humor politik. Lumayan juga untuk mengurangi stres. Tapi, apa iya negeri kita sudah jadi sumber inspirasi humor? Apa iya negeri ini sudah layak dihina-hina dan menjadi bahan tertawaan?
***
Sesungguhnya banyak hal lucu kita jumpai dalam hidup. Dan seperti kata banyak orang bijak, tertawalah kalau Anda ingin panjang umur. Tertawalah karena dengan tertawa urat-urat saraf kita menjadi luwes, tidak kelewat tegang hingga mudah terserang stroke. Tertawalah karena dengan tertawa kita bisa membuat hidup yang rumit ini menjadi lebih simpel.
Dan saya, alhamdulillah, hidup di lingkungan di mana setiap orang gemar melahap humor jenis apa pun setiap hari. Berusaha tertawa dan mengajak orang-orang tertawa. Membaca cerita humor berbahasa Inggris sambil berusaha mencari-cari di mana letak lucunya, atau berbagi kisah-kisah mahalabiu yang khas Banjar itu.Tapi sudahkah para pejabat kita tertawa? Menebar senyum dan menunjukkan keceriaan wajah mereka di hadapan rakyatnya? Entahlah. Sebab yang terlihat akhir-akhir ini justru wajah mereka yang “ketekuk”, kusut, tegang, matanya melotot, bibirnya mencibir dan ucapan-ucapannya kelewat serius.
Hal serius yang disampaikan secara serius dengan mimik wajah dan intonasi suara yang serius; sungguh menjadi keseriusan berlipat-lipat. Yang satu menuding yang lain, begitu sebaliknya. Nanti ada periode di mana yang satu menggugat yang lain secara hukum, lantas digugat balik, ribet berurusan ini-itu di kantor polisi, perang statement di koran-koran, berkelahi fisik kalau perlu. Tapi ya begitu saja. Seperti ejakulasi. Setelah puas ya sudah.
Mereka mungkin lupa kita-kita yang rakyat biasa ini sudah kelewat serius memikirkan harga-harga yang melambung tinggi, jalan yang macet di sana-sini, debu yang menerpa wajah dan memerahkan mata di semua sudut kota, listrik yang byar-pet setiap hari, air ledeng yang kadang ngadat, juga macam-macam lagi yang membuat kita sulit tertawa. Mereka mungkin lupa kita-kita ini sudah kelewat serius dan nyaris kehilangan sense of humor karena hidup yang semakin berat. Dengan perseteruan mereka, saya khawatir kita semua malah ketularan sense of war; keinginan untuk selalu berkelahi, berperang, ribut melulu.
Orang-orang serius seperti itu pastilah tidak ngeh kalau kita ajak melucu. Bahkan para pelawak seperti Bagito atau Srimulat malah dianggap orang gila. Karena bagi mereka cuma orang gila yang pantas disebut lucu dan layak ditertawakan. Padahal… padahal nih… yang menertawakan orang gila itu biasanya ya orang gila juga.
***
Beberapa kenalan pernah bertanya kenapa esai saya selalu diselipi anekdot. Kenapa kok tidak menulis yang rada sufistik, atau analitis, atau yang ngintelek dikit dengan bahasa yang aneh-aneh berbau ilmiah. Kenapa menulis kok nggak pakai pendahuluan, struktur, isi, terus kesimpulan seperti yang diajarkan waktu kita bikin skripsi atau makalah di kampus dulu.
Saya menjawabnya dengan tiga penjelasan. Pertama, yang sangat logis; saya memang nggak punya bakat nulis ilmiah. Kedua, hidup di zaman bebas merdeka seperti sekarang kok menulis saja masih harus diatur-atur. Ketiga, apa Anda yakin skripsi, disertasi, atau tesis yang Anda bikin waktu kuliah dulu dibaca orang — dosen Anda misalnya? Makanya saya lebih suka membuat tulisan ngawur yang dibaca orang, ketimbang tulisan berbobot yang sekadar jadi hiasan perpustakaan, ganjal pintu, atau malah berdebu di balik toga wisuda. Tapi, jangan khawatir. Orang yang nggak bisa nulis ilmiah seperti saya memang suka membela diri seperti ini.
Bahwa banyak pesan arif bisa disampaikan lewat anekdot, itulah yang saya yakini. Seperti juga jam dinding yang berputar cepat karena pejabat-pejabat Indonesia konon pandai berhitung secara ekonomis; segala sesuatu harus menjadi uang dan untuk itu diperlukan jurus “3 H” — Halal, Haram, Hantam.
***
Suatu ketika seorang pejabat koruptor sedang melaju kencang dengan mobil pribadi jenis mewah keluaran terbaru. Tanpa sadar mobilnya diserempet truk kontainer yang juga melaju kencang dari arah berlawanan. Sang pejabat terkaget-kaget dan meminggirkan mobilnya yang hancur di bagian sebelah kanan.
Pejabat itu masih terus mencak-mencak ketika seorang polisi lalulintas menghampirinya. “Ini mobil baru dibeli kemarin, sudah hancur begini,” kutuknya.
“Maaf, Pak. Sepertinya bapak sangat mencintai mobil ini, sehingga bapak tak sadar lagi tangan kanan bapak juga ikut lepas waktu diserempet truk tadi,” polisi menyela.
“Haaa???” sang pejabat terkaget-kaget.
“Iya pak, saya lihat potongan tangan bapak terlempar beberapa meter dari sini.”
“Wah… mati aku. Di mana jam Rolex-ku?” ***
1 thought on “Jam Korupsi”