Silakan ribut soal pornografi dan pornoaksi. Di Singapura, dalam sebuah perjalanan di kawasan Malay Village sepekan yang lalu, saya berjumpa objek menarik; reklame besar memuat gambar wanita tanpa busana kecuali selembar celana dalam. Memang bagian-bagian saru tetap disembunyikan dengan silangan tangan, tapi di negeri kita, gambar macam ini pasti sudah kena razia.
Saya pun tak mau kehilangan kesempatan. Merapat ke gambar itu dan beraksi di sebelahnya. Seorang kawan saya minta memotret. Sayang seribu sayang… gambar si cewek kelewat gede sehingga jelas sekali bahwa dia hanya benda dua dimensi.
Gambar ini memang untuk menarik minat konsumen. Dipasang di depan klinik kesehatan Slimming Sanctuary. Orang yang lewat, terutama ibu-ibu, diharapkan terobsesi punya tubuh seperti di gambar itu, maklum, klinik ini menerima jasa â€menguruskan†tubuh secara sempurna dalam waktu yang tak lama. Lengkap dengan iming-iming tambahan; tanpa efek samping. Entah kalau efek depan atau belakang.
Di beberapa sudut lain Singapura, adalah hal biasa menjumpai reklame dengan gambar wanita-wanita seksi. Sesuatu yang sesungguhnya cukup mudah juga kita jumpai di kota-kota besar Indonesia. Tengoklah iklan-iklan shampo, sabun, atau juga produk kosmetik, yang menampilkan wanita dengan tubuh seolah sempurna. Wanita seksi juga dipakai untuk menarik minat pembeli produk-produk seperti keramik lantai, obat nyamuk atau pompa air. Jadi, sebenarnya, ini adalah urusan biasa.
Menjadi luar biasa ketika pemerintah kemudian mencoba melibatkan diri masuk ke dalam ranah aturan; apa saja content yang boleh dan tidak boleh. Mengatur segala hal dari penggunaan kata-kata, pemuatan gambar, sampai batasan bagian tubuh mana yang patut dilihat orang banyak dan mana yang hanya boleh dipelototi sendiri di kamar mandi.
Saya setuju pembatasan-pembatasan itu dilakukan untuk kepentingan publik. Masalahnya, banyak urusan lain yang lebih penting tak kunjung dibereskan pemerintah, termasuk urusan membersihkan aparat pemerintah sendiri dari kebusukan-kebusukan. Di negeri di mana penyelenggara negara ingin mengatur segala hal, tapi lupa mengatur dirinya sendiri, yang terjadi adalah tontonan kemunafikan. Kita diminta menjauhi pornografi dan pornoaksi, yang definisinya pun masih simpang-siur itu, oleh orang-orang yang hidupnya sudah berselimut porno sejak dalam pikiran.
Di negeri orang, saya menyapa sensualitas wanita dari sebuah papan reklame, tanpa sedikit pun pikiran bahwa dengan begitu saya menjadi horny. Percayalah, kalau pejabat-pejabat kita ngotot bikin aturan soal porno, penyebabnya tak lebih karena kepala mereka memang dipenuhi pikiran-pikiran cabul. Pun para pendukung undang-undang itu, sebutlah misalnya Rhoma Irama, juga berprilaku tak jauh. Orang-orang ini memang punya kelemahan; sulit mengendalikan syahwat. Lantas negara dipaksa membuat aturan supaya syahwat-syahwat liar itu bisa dikendalikan atas nama hukum.
terkadang kita (bangsa indinesia) terlalu terjebak kepada masalah yang sbenarnya tidak perlu di perdebatkan. klo perdebatan masalah pornoaksi dan pornografi itu dah biasa, tapi belum ada perdebatan gimana membuat reklame yang safety dan tidak merusak wajah kota. betul nda…………………..?!
peraturan ttg reklame itu sendiri sangat minim sekali, secara nasional, pengertian reklame dapat dijumpai dalam Penjelasan pasal 2 ayat 2 butir c UU pajak daerah dan retribusi daerah sehingga saling tumpang tindih
menariknya dalam pelaksanaan di daerah2 juga demikian, mereka hanya memandang reklame dari sisi pajaknya saja (tarif pajak reklame), tidak mengatur tentang materi dari reklame
terkait dengan pemberlakuan uu pornografi, maka reklame dilarang utk menampilkan konten pornografi sebagaimana dimaksud UU tsb. dengan demikian pada reklame boleh menampilkan adegan yang mengandung kekerasan dong, gawat