Skip to content

WINDEDE.com

Menu
  • Home
  • Esai
  • Kontemplasi
  • Inspirasi
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Budaya
  • Politika
Menu

Chiyo, Sayuri, Geisha…

Posted on 6 Februari 2006

Kalau untuk The Da Vinci Code saya penasaran menunggu filmnya karena sudah lebih dulu baca novelnya, maka Memoirs of a Geisha sungguh berbeda. Kisah tradisi Jepang karya Arthur Golden ini menyeret ketertarikan saya justru (lebih dulu) dari filmnya. Padahal, sebagai novel, Memoirs of Geisha sudah lama terbit dan telah pula diterjemahkan lebih dari 30 bahasa. Hmm… saya saja yang ketinggalan kereta.

Masalahnya sih sederhana; beberapa kali melihat novel ini di toko buku, saya tak begitu tertarik. Sampai hari ini bahkan belum ada satu pun buku berlatar belakang Jepang yang saya miliki. Hingga akhirnya suatu hari pertengahan Januari lalu saya sedang di Jakarta dan berniat ke bioskop. Maklum, di kampung saya sini nggak ada bioskop, hehehe. Waktu itu, studio yang memutar Memoirs of a Geisha penuh. Hanya tersisa beberapa kursi di row paling depan. Pasti tidak menyenangkan. Saya pun beralih ke studio sebelah menonton film yang lain.

Keesokan harinya, di sela padatnya sejumlah acara di Jakarta, saya singgah ke bioskop lagi maunya sih untuk nonton Geisha. Dahsyat… lagi-lagi tak kebagian tempat. Saya jadi mikir, kayaknya film ini asyik juga. Waktu akhirnya memaksa saya memendam hasrat untuk ke bioskop lagi – karena harus pulang ke Banjarmasin.

Beberapa hari kemudian saya ke Balikpapan. Selesai sebuah urusan, menyempatkan diri menengok keluarga di Samarinda. Ahaa… kebetulan, di Samarinda ada bioskop. Dan sedang memutar Geisha juga. Sayangnya waktu sangat mepet karena hari mulai gelap. Setelah memacu mobil luarbiasa ngebutnya, saya tiba di Samarinda ketika security di depan pintu masuk bioskop bilang bahwa bioskop sudah tutup. Lagi-lagi, impian nonton Geisha tertunda.

Saya yakin bisa nonton Geisha ketika pekan lalu harus ke Surabaya. Dan keyakinan itu akhirnya terbukti. Malah dengan bonus tambahan nonton film Fearless yang dibintangi Jet Li (bayangkan, habis nonton di studio 3 langsung lari ke studio 1 untuk nonton lagi hehehehe…).

Mungkin karena sudah diputar cukup lama, waktu itu tak semua kursi penonton terisi.

***

Rob Marshall menyutradarai Memoirs of a Geisha dengan sangat baik. Salah satu keberhasilan luar biasa di film ini adalah penonton tetap merasakan identitas Jepang meski para pemerannya adalah artis China, dan dialognya menggunakan bahasa Inggris – tentu Inggris cadel beraksen mandarin.

Mungkin juga karena peran Chiyo, seorang gadis cilik Jepang yang menjadi pembantu Geisha – dan akhirnya ketika dewasa menjadi Geisha ternama, dimainkan oleh aktris cilik Jepang bernama Suzaka Oghu. Karakter Chiyo yang sangat kuat di awal-awal cerita begitu mengesankan hingga akhirnya ketika dewasa diperankan Zhang Ziyi – dan Chiyo berganti nama menjadi Sayuri.

Zhang Ziyi, dengan mata ber-soft lens biru, memerankan tokoh Sayuri dengan sangat baik – setidaknya untuk ukuran penikmat (bukan pengamat lho ya…) film seperti saya. Sayuri menjadi Geisha paling dipuja – sekaligus juga mengantarkan penonton pada pemahaman sesungguhnya; bahwa Geisha bukanlah pelacur. Geisha adalah artis dengan keterampilan berkesenian yang, pada masa itu, menjadi ikon hiburan para borjuis di Jepang.

Alur cerita mengantarkan Sayuri sebagai Geisha sejati, yang ketika pecah perang dunia ke II tidak ikut menjadi pelacur melayani tentara Amerika. Meski begitu, pesona kecantikan Sayuri telah membuat kepincut orang-orang Barat. Toh, Sayuri tetap memautkan hati pada cinta masa kecilnya, seorang pria dewasa dengan panggilan “Sang Ketua” (diperankan Ken Watanabe), yang pernah mencuri hati Chiyo dengan semangkuk es manis ketika Sayuri kecil tengah gundah-gulana.

Pergulatan idealisme Sayuri sebagai Geisha begitu terasa ketika film ini menggambarkan bagaimana citra Geisha menjadi buruk karena sejumlah wanita Jepang melacurkan diri dengan dandanan ala Geisha. Padahal Geisha tidak seburuk itu. Geisha memang menghibur dengan sensualitasnya. Tetapi mereka tidak menjual tubuh sebagai pelacur. Di film ini bahkan diceritakan bagaimana proses “pelepasan keperawanan” seorang Geisha dilelang secara tertutup dan sangat hati-hati, penuh liku dan melewati proses yang begitu sakral — hingga seorang Geisha justru menjadi semakin “berharga” ketika keperawanannya diambil oleh orang dengan tawaran tertinggi.

***

Tidak semua film berlatar sejarah selalu menarik. Saya beberapa kali “ketipu” karena nonton film yang seolah berisi sejarah, ternyata cuma mempertontonkan adegan perang. Memoirs of a Geisha lebih dari sekadar sejarah. Penulis cerita ini menyisipkan misi untuk mengembalikan Geisha sebagai sosok yang derajatnya bukan saja tidak seburuk pelacur, tetapi juga lebih suci dari wanita mana pun di lingkungannya. Itulah mengapa sebagian besar wanita Jepang pada masa itu ingin menjadi Geisha.

Menonton film tentu tak seperti membaca buku. Pasti ada detil cerita yang tertinggal. Karena itu, setelah terbius oleh filmnya, saya pasti bersegera membaca buku Memoirs of a Geisha.

Like & Share

8 thoughts on “Chiyo, Sayuri, Geisha…”

  1. APRILIA NUR berkata:
    8 Juni 2007 pukul 02:52

    kisah hidupmu memberi aku kekuatan untuk bertahan

    Balas
  2. syl berkata:
    17 Juli 2007 pukul 12:41

    benar-benar geisha sejati yang meraih sukses karena usaha yang hebat
    benar-benar membuat orang berdecak kagum

    Balas
  3. fira berkata:
    21 September 2007 pukul 17:49

    Ass,wah asik juga pak ulasannya saya pernah nonton dirumah saudara film ini tapi gak sampai habis.Tapi memang inti dari memoirs of a geisha ini adalah wanita geisha bukan wanita sembarang…seperti dugaan banyak orang ya pak sipp good. I like it. Wasalam.

    Balas
  4. diana sanreza berkata:
    7 Februari 2008 pukul 11:51

    seru b9t filmnya
    gue ska b9t
    and y9 pLing kRen adLh rOMANTIS b9t
    ketua’y waLaupun tUa tP gaNten9 b9t
    sayuri’y jGa cAntik b9t

    Balas
  5. seba berkata:
    10 April 2008 pukul 10:48

    Filmnya bagus & insipiring. Teknik pengelolaan film beda dengan film pada umumnya. Tetapi jika sudah membaca novelnya, maka mungkin kita mengharapkan untuk dibuat film seri, karena filmnya sangat minim unsur perasaan & pemikiran dari tokoh utama, yang mana justru menjadi dominan pada novelnya. Di samping itu pada novelnya, Sayuri lebih ditonjolkan sebagai gadis yang cerdas dalam conversation dengan clientnya, berbeda dengan filmnya yang lebih menonjolkan kecantikan dan keanggunan.

    Menurut saya filmnya bagus, walau agak membosankan di awalnya. Tetapi novelnya jauh lebih bagus, deep impact emotionally & kaya pelajaran kehidupan yang biasa ditemui dalam pergaulan sehari-hari.

    Balas
  6. dini berkata:
    18 Februari 2009 pukul 19:34

    AKU INGIN MENJADI SAYURI NITTA_ chiyo san

    Balas
  7. dwi berkata:
    13 September 2009 pukul 20:28

    huahuahua…
    saya belum sempat nonton nih film, tapi sepertinya sangat menarik sekali.

    Balas
  8. rienda berkata:
    4 Oktober 2009 pukul 19:10

    film ini rame bgt..
    sbnrnya bukan ramenya sii.. tapi nilai dari inti film ini
    film ini memperlihatkan bahwa tidak semua geisha itu berkonotasi negative
    karna jika kita ingat geisha, maka lsg mncul di otak kita bahwa geisha adalh seorang wanita penghibur (wanita nakal)
    padhl sbtlny, geisha itu tdk sprti itu..
    so.. nton ajj dee..

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

About

 

WinDede a.k.a Erwin D. Nugroho.

Anak kampung dari pelosok Kalimantan, bermukim dan beraktivitas di belantara Jakarta. Selain menulis dan memotret, jalan-jalan adalah kegemarannya yang lain.

My Book

My Youtube

https://youtu.be/zE0ioByYHhs

My Instagram

windede

The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn The Cousins. Remake foto 12 tahun bocah-bocah dgn sebagian sepupu Samarinda...
The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun la The Siblings (part 2). Ini remake foto 30 tahun lalu (1992). Panjang umur semuanya...
The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-bera The Siblings (part 1). Remake foto kami kakak-beradik 40 tahun lalu: 1982 (atas) dan 2023 (bawah). Alfatihah utk si kembar Shinta (foto atas, kedua dari kiri) yg telah berpulang lebih dulu.
Yg ini okelah buat avatar... 😇😁 Yg ini okelah buat avatar... 😇😁
Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus b Hahaha... Machine learning-nya si AI masih harus banyak belajar...
Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-iku Lama gak posting. Sekali posting langsung ikut-ikutan trend wkwkwk
Alhamdulillah... Alhamdulillah...
Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎 Sesekali, biar punya foto keluarga... 😎
Udah lama gak foto bertiga... #fafiva Udah lama gak foto bertiga... #fafiva
Load More Follow on Instagram

Arsip Blog

Posting Terakhir

  • Ogi, Amtenar Aktivis
  • Uji Bebas Covid-19
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (4): Bebas Ngebut di Jerman, Taat Speed Limit di Prancis dan Belanda
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (3): Semua Urusan Dikelola Mesin, Bisa Curang Tapi Tetap Patuh
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (2): Sewa Mobilnya Murah, tapi Parkir Mahal dan Susah
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (1): Bebas Pilih Destinasi, Biaya hanya Seperempat Paket Wisata
©2023 WINDEDE.com | Design: Newspaperly WordPress Theme