Ini bukan ulasan sepakbola. Maklum, saya termasuk sangat awam untuk urusan olahraga yang sungguh populer ini. Jangankan peta kekuatan klub sepakbola, nama-nama pemain saja saya tak begitu hapal. Saya hanya nonton bola kalau lagi siaran langsung final piala dunia. Lumayan kan, 4 tahun sekali.
Saya mau cerita soal dunia bermain yang semakin kehilangan tempat. Bukan game zone modern yang komersial dan mahal itu. Tetapi ruang publik untuk sekadar rehat dari hiruk-pikuk kesibukan sehari-hari. Tidak di kampung, tidak di kota; ruang publik semakin tergerus oleh kepentingan ekonomi.
Kota-kota tua di republik ini memberi peninggalan sejarah yang sungguh berarti; alun-alun kota, tempat ramai orang berkumpul sekadar nongkrong sore hari, menikmati panorama kota sambil menghirup udara segar. Sebagian alun-alun masih bertahan, sebagian lagi sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan.
Di kampung-kampung, lapangan sepakbola adalah hamparan tanah kosong yang kebetulan kosong. Biasanya karena pemiliknya tak punya ide mau dibuat apa. Tidak sungguh-sungguh disiapkan sebagai lapangan bola. Di musim hujan permainan menjadi seru oleh genangan air dan tanah yang becek. Di saat kemarau, tanah kering dan bengkang menjadi bagian yang menantang.
Orang kampung yang punya lebih banyak lahan saja sudah sulit bermain di alam terbuka. Apalagi orang kota. Anak-anak kita di perkotaan harus bermain bola di emperan toko atau sudut-sudut jalan dan gang permukiman. Lapangan sepakbola hanya khusus untuk klub dewasa, atau sekolah-sekolah olahraga.
Suatu hari di Jakarta, dari balik jendela kamar hotel, saya melihat belasan anak asyik bermain bola di atas atap (atau dak?) sebuah bangunan ruko berlantai tiga. Lapangan tempat bermain tentu saja lantai beton. Saya menginap di lantai 8. Dan, sambil termangu mengintip kegembiraan anak-anak itu, saya merasa menyaksikan sesuatu yang lebih dahsyat daripada nonton laga sepakbola sungguhan.
Di tengah kesibukan Jakarta yang dahsyat, ada sedikit ruang di lantai tiga sebuah bangunan, tempat anak-anak itu teriak lepas, menendang dan menggocek bola berkejar-kejaran. Mereka tak mungkin bermain di taman kota karena itu akan membuat mereka berurusan dengan petugas kamtib. Tak mungkin pula berkejar-kejaran di jalan raya sebab untuk lewat mobil dan motor saja sudah tak cukup.
Saya dibesarkan di kampung dan masih ingat ketika tujuhbelasan, pertandingan antar kampung (tarkam) adalah tontonan paling menarik sedunia. Lapangannya begitu sederhana, tapi memang disiapkan untuk bermain bola. Bukan sawah yang disulap dengan gawang dari tali rafia, atau atap ruko berpembatas pagar sedada.
Hari ini kita dituntut lebih kreatif lagi mencari lahan terbuka, sekadar untuk bermain bola. Sesekali lepas dari penjara play station atau game zone dan merasakan nikmatnya alam. Entah alam sawah di kesunyian desa-desa, atau alam beton di hiruk-pikuk kota.