SMS pertama yang masuk di handphone saya hari ini adalah kabar mengenai wafatnya istri seorang kawan. Berita duka yang terlalu pagi untuk didengar. Toh, kematian memang selalu menjadi misteri; sering datang tanpa memberi tanda.
Ketika melayat, kawan yang sedang berduka itu berkisah kepada saya; “Tadi malam kami masih ngobrol seperti biasa. Meskipun sedang opname di rumah sakit, tak ada tanda-tanda dia akan pergi secepat ini.”
Tak ada yang lebih misterius dalam hidup kecuali ihwal kematian. Sampai hari ini, sangat banyak rahasia yang belum terungkap mengenai mati. Kitab-kitab suci memang memberi sejumlah gambaran; baik mengenai kematian maupun apa yang terjadi setelah mati. Namun semua tetap dalam misteri yang sama, sebab belum ada orang yang bisa membawa kisah nyata dari alam kematian — kecuali mungkin sejarah nabi-nabi yang oleh Sang Pemilik Hidup & Mati telah diberi “petunjuk”.
Saya pernah mengalami “seperti mati” ketika sakit keras dan harus masuk ICU selama 14 hari. Dari 14 hari itu, 3 hari di antaranya saya lewati dalam keadaan koma. Tubuh terbujur kaku tanpa bergerak sedikit pun, kecuali nadi yang berdenyut menandakan saya masih bernyawa.
Ketika siuman, orang-orang dekat saya bertanya apa yang saya rasakan selama 3 hari tak sadarkan diri itu. Saya hanya menggeleng, bukan karena lupa, tapi karena memang tak ada apapun yang terekam dalam memori; blank, seperti tidur tanpa mimpi. Tiga hari itu seperti lewat begitu saja, semuanya, termasuk ruang dan waktu. Sebab saat itu, saya tak merasa melewati 3 hari seperti halnya orang-orang yang sadar. Ketika siuman dan disampaikan bahwa saya “mati” selama 3 hari, saya pun terheran-heran. Sebab yang saya ingat hanyalah kejadian-kejadian terakhir sebelum koma, dan sungguh, semua terasa sekejap saja.
Seperti itukah mati? Entahlah. Beberapa orang yang pernah merasakan mati suri memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Ada yang blank seperti yang saya rasakan, ada pula yang mengaku “sadar” karena saat mati suri itu dia bisa melihat orang-orang di sekelilingnya, termasuk tubuhnya sendiri yang sedang terbujur kaku — tanpa bisa berbuat apa-apa.
Cerita yang selalu sama dari mereka yang mati suri adalah soal ruang dan waktu. Bahwa di alam “kematian” dimensi ruang dan waktu sudah berbeda dengan alam hidup. Karena dimensi ruang yang berbeda itulah, konon, arwah orang-orang mati bisa leluasa melihat kita yang masih hidup — dan tidak sebaliknya. Arwah juga bisa menggapai waktu yang lalu, sekarang dan masa depan — karena ia berada dalam dimensi yang lebih tinggi dari definisi waktu yang kita pahami.
Mati memang urusan Dia Sang Pemilik Kehidupan. Tapi siapa bilang bukan urusan kita juga? Bukankah satu-satunya yang pasti akan kita jalani dalam hidup ini adalah mati! Maut bisa menjemput kapan saja. Bahkan tanpa diduga-duga. Dalam banyak kecelakaan, kematian malah datang ketika si empunya nyawa sedang tertawa-tawa, riang gembira. Proses kematian seperti ini, seringkali, membuat banyak keluarga yang ditinggalkan terkejut, tidak percaya, bahkan kerap mengalami depresi berkepanjangan.
Tentu saja berbeda dengan kematian yang sudah bisa “diduga”. Misalnya, pada orang yang sudah sakit keras berhari-hari, berusia uzur dan nyaris tanpa harapan hidup. Pada orang dengan kondisi seperti ini, banyak keluarga justru berdoa “berilah jalan terbaik” kepada si sakit. Kalimat “berilah jalan terbaik” itu sebenarnya adalah doa yang “halus” untuk memohon agar Tuhan menyegerakan pencabutan nyawa. “Daripada terlalu lama merasakan sakitnya.”
Maut, pada saatnya, akan menghampiri setiap kita, dalam kondisi tubuh sesehat apa pun dan situasi sekitar (lingkungan) seaman apa pun. Terlalu banyak cara dan alasan bagi Tuhan untuk mencabut nyawa ciptaan-Nya. Maka, janganlah pernah terkejut ketika maut menjemput. Sebab kematian tak pernah jauh dari hidup kita di dunia yang sungguh hanya sekejap ini.
Selamat hari Jumat. Selamat menyongsong hari kematian, yang entah kapan, PASTI datang.
belajarlah untuk tidak mati, tapi back to basic!!!!