Hari baru saja beranjak siang. Orang-orang sungai itu bergerak perlahan menuju ke hulu. Perahu kelotok mereka telah kosong dari barang-barang. Rute hulu-hilir baru dilewati sekali untuk hari ini. Mungkin masih bisa dua atau tiga kali pulang-pergi. Toh, tubuh belum terlalu lelah.
Di Banjarmasin mereka biasa juga disebut motoris taksi air. Perahu-perahu kelotok tanpa atap ini dipergunakan untuk mengangkut barang-barang, biasanya milik para pedagang. Tapi di lain hari, sesekali, bisa juga mengangkut penumpang. Sebagian motoris bekerja dengan perahu kelotok milik sendiri. Sebagian lagi menjadi motoris untuk perahu milik juragan.
Di kota ini, perahu adalah alat transportasi umum selain kendaraan bermesin dan beroda di jalan raya. Dengan lekuk-kelok sungai di hampir seluruh penjuru kota, banyak kawasan memang lebih mudah diakses lewat angkutan air. Pasar-pasar tradisional umumnya berada di pinggir sungai, sehingga mobilisasi barang dagangan bisa lebih mudah dengan transportasi dari perahu ke perahu.
Tetapi modernitas memang tak terbendung. Pasar-pasar tradisional yang jadi gantungan hidup orang-orang sungai tersisih oleh suburnya pasar-pasar modern. Termasuk pusat-pusat perbelanjaan yang tidak saja menawarkan harga berlabel diskon, tetapi juga kenyamanan berbelanja. Padahal, sebagian barang yang didagangkan, asal-usulnya ya dari transaksi di pinggiran sungai itu.
Orang-orang sungai memang tetap eksis dalam budaya mereka sendiri; hidup dan bekerja di atas rakit dan perahu-perahu. Hanya saja generasi baru keluarga ini makin hari makin menipis. Sebagian besar mulai bertaruh hidup di darat, yang agaknya lebih realistis untuk masa depan yang lebih baik.
Rumah-rumah tua di sepanjang bantaran sungai akhirnya hanya menjadi deretan gubuk tua yang menunggu digusur. Para pemiliknya tak begitu bergairah lagi memperbarui. Apalagi penyelenggara negara memang terus mewacanakan pembersihan pinggiran sungai untuk dijadikan ruang publik; taman-taman kota yang dicita-citakan menjadi sedikit tempat terbuka di tengah kepadatan pusat kota.
Orang-orang sungai kemudian dipaksa mengubah kultur mereka. Dan itu tidaklah gampang. Bayangkan orang yang berpuluh tahun buang air di jamban –yang tanpa kloset, karena langsung “dibuang” ke sungai— harus diajari dari semula bagaimana cara menggunakan toilet. Tengoklah betapa penat tangan mereka menimba air dari sumur-sumur dalam berair dangkal, padahal sebelumnya, meski juga tidaklah bersih, air sungai berlimpah tinggal menimba.
Toh hidup memang senantiasa berubah. Konsep hijrah (berpindah) dalam banyak pengalaman justru menjadi titik tolak hidup yang lebih baik. Sungai tetap menjadi aset bagi penduduk kota, bahkan kekayaan yang tak ternilai harganya. Di pihak lain, orang-orang sungai terus belajar mencintai hidup di atas bumi yang bertanah – tanpa lupa bahwa mereka dibesarkan di lingkungan air.