Manusia sudah dari sononya suka melanggar aturan. Lebih sering menantang daripada menurut. Lebih suka melawan ketimbang patuh. Sebuah tabiat yang agaknya memang telah turun-temurun menitis dalam darah setiap jiwa. Mungkin bermula dari kisah Adam yang makan buah kuldi lantas terlempar dari surga dan terdampar ke bumi. Entahlah.
Tetapi ihwal melanggar aturan ini sudah menjadi denyut hidup kita sehari-hari. Di kampung saya, jembatan penyeberangan dibangun untuk jadi pajangan. Sebab orang memilih menyeberang di jalan raya daripada harus capek naik turun tangga. Lagi pula, kalau ada yang mudah, untuk apa pakai cara susah?
Di setiap perempatan, rambu lampu hanyalah kedip warna merah-kuning-hijau yang cukup dipatuhi bila terpaksa. Setiap ada kesempatan untuk menerobos, tak peduli lampu sedang berwarna apa, sikat saja. Boleh jadi itu pula alasan sehingga traffic light lebih sering disebut sebagai lampu merah. Bukan lampu hijau atau kuning.
Papan rambu di sepanjang jalan selalu menulis larangan untuk mendahului dari sebelah kiri. Tetapi repot juga, karena semua mobil memilih jalur sebelah kanan meskipun berjalan lambat. Ya satu-satunya ruang untuk menyalip adalah sebelah kiri (yang dilarang itu), karena menyalip dari kanan sama saja bersengaja menabrak median jalan.
Tempat-tempat umum memasang larangan merokok. Ruang publik, terutama yang tertutup dan berpendingin, harus bebas dari asap. Toh, para perokok lebih sering cuek. Mereka dengan sengaja melakukan kesalahan untuk dua hal: pertama, menyebar racun asap kepada orang sekitar; kedua, melanggar aturan.
Begitu banyak larangan dilanggar dalam kesadaran. Sebagian karena terpaksa, sebagian lagi dengan penuh sengaja. Dari urusan yang teramat kecil dan remeh temeh seperti membuang sampah, sampai urusan besar semisal melanggar sumpah.
Tetapi memang tidak selamanya para pelanggar aturan bersalah. Kadang-kadang, yang bikin aturan suka ngawur juga. Kenapa, misalnya, orang dilarang menelepon di SPBU, sementara kisah tentang arus lemah listrik pada antena telepon selular menjadi penyebab kebakaran itu sampai sekarang masih berupa dongeng. Kasusnya tentu beda dengan larangan mengaktifkan nada dering handphone di bioskop, karena siapa pun pasti tak ingin terganggu ketika menonton.
Saya termasuk suka melanggar aturan, baik sadar maupun tidak. Yang sadar biasanya saya lakukan karena tak setuju dengan aturan itu. Baik karena aturannya tidak masuk akal maupun karena unsur mitos lebih besar daripada logikanya. Artinya, saya melanggar karena memang berniat melanggar. Yang tidak sadar –atau setengah sadar— biasanya terjadi karena saya tidak tau kalau yang saya lakukan itu melanggar.
Dalam hal lain saya suka melanggar karena iseng. Misalnya, saya sering baru naik pesawat setelah petugas memanggil nama saya untuk panggilan terakhir, padahal saya ada di ruang tunggu sejak panggilan pertama. Di dalam pesawat saya suka belakangan memasang sabuk pengaman supaya pramugari menghampiri dan dengan sedikit cemberut meminta saya memasang; dan kadang-kadang dengan blo’on saya minta dipasangkan hehehe.
Begitulah. Sampai suatu hari di Arab Saudi saya nekat memotret Ka’bah dari dalam areal Masjidil Haram, sambil menguji cerita orang bahwa bila ketahuan askar (polisi Arab) kamera bakal dibanting. Saking isengnya, papan larangan memotret pun ikut saya potret! Sebuah pelanggaran yang belakangan saya sesali: niat ibadah kok malah mau nguji askar segala.