Skip to content

WINDEDE.com

Menu
  • Home
  • Esai
  • Kontemplasi
  • Inspirasi
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Budaya
  • Politika
Menu

Generasi Maling dan Penengadah

Posted on 22 Oktober 2005

Menjadi maling itu belum tentu tabiat. Bisa terpaksa karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, lebih sering pula tergiring oleh nafsu tamak. Contohnya, orang-orang kaya yang masih maling juga dengan jalan korupsi. Walau bukan tabiat, perbuatan ini bisa tumbuh menjadi kebiasaan oleh sebab-sebab lingkungan.

Awal 2004, ketika saya ke Aceh dua pekan setelah tsunami, orang-orang Nanggroe berkisah soal budaya malu. Mereka bilang, orang Aceh paling pantang jadi pengemis. Sebagian dari mereka malah bilang, daripada mengemis lebih baik mencuri. Sebab ini soal harga diri. Menengadah tangan berarti merendahkan diri di hadapan sesama manusia. Padahal, urusan “merendahkan diri” itu hanya patut dilakukan di hadapan Tuhan.

Tapi apa yang terjadi? Dalam perjalanan dari Banda Aceh ke pesisir Pantai Ulhelue, saya menjumpai anak-anak Aceh yang menengadah tangan di pinggir-pinggir jalan. Tidak satu atau dua orang… banyak! Mereka berharap belas kasihan, di tengah banjir kiriman bantuan organisasi-organisasi yang (waktu itu) entah disalurkan ke mana. Seorang pemuda Aceh yang menemani perjalanan saya waktu itu lantas bilang; “…mereka mengemis bukan karena kehilangan rasa malu. Mereka mengemis karena hanya itu satu-satunya pilihan. Mau mencuri apa? Yang dicuri pun sudah tak ada.”

Itulah juga barangkali yang membuat anak-anak di satu ruas jalan di Jakarta, beberapa hari lalu, dengan riang mencuri minyak dari truk tangki milik Pertamina yang tengah parkir. BBM mahal, ada kesempatan mencuri, maka lakukanlah. Sebuah respon spontan dari anak manusia yang dipaksa hidup di tengah himpitan ekonomi – yang sebagian di antaranya terhimpit oleh kebijakan pemerintah sendiri.

***

Kita pasti sering dengar anjuran bijak soal tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi itu lebih mulia daripada meminta. Setiap kita tentu ingin menjadi bijak sedemikian. Tetapi haruskah orang dicela sebagai tidak bijak, padahal tangannya memang tak mungkin berada di atas? Patutkah cap pengemis dan maling dilekatkan kepada mereka yang, berkat proses pemiskinan terencana oleh pemerintah, memang harus hidup dalam ketidakmampuan – dan cara paling gampang untuk menjadi sedikit mampu adalah mengemis, atau mencuri…?

Boleh jadi, di hadapan Tuhan, anak-anak pencuri minyak ini masih lebih mulia, setidaknya bila dibandingkan dengan orang kaya yang mencuri minyak dalam jumlah luarbiasa lebih besar dengan motif memperkaya diri. Anak-anak pencuri minyak itu masih lebih mulia bukan karena perbuatannya, tetapi karena pencurian itu sungguh dilatarbelakangi oleh alasan yang masuk akal. Lagi pula, kalau orang kaya saja masih korupsi, bukankah wajar bila si miskin mencuri?

Seperti halnya mengemis, mencuri tentu bukan perbuatan baik. Tetapi baik dan buruk tidak bisa dilihat hitam-putih, ketika dunia semakin disesaki oleh contoh-contoh perbuatan tercela.

Seperti penjual parfum yang sudah kehilangan kepekan soal wangi, bukankah pemukim di tempat-tempat pembuangan sampah juga akan merasa lumrah hidup dalam bau?

Like & Share

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

About

 

WinDede a.k.a Erwin D. Nugroho.

Anak kampung dari pelosok Kalimantan, bermukim dan beraktivitas di belantara Jakarta. Selain menulis dan memotret, jalan-jalan adalah kegemarannya yang lain.

My Book

My Youtube

https://youtu.be/2vSExaDnOTQ

My Instagram

Sesi foto keluarga, biar ada kenangannya... #eeeaa Sesi foto keluarga, biar ada kenangannya... #eeeaaaa
Si bungsu udah macam anak tunggal... Si bungsu udah macam anak tunggal...
Sesi foto tiga generasi... Sesi foto tiga generasi...
Baru terima nih official photos dari graduation du Baru terima nih official photos dari graduation dua pekan yg lalu. Harus diposting dong yak, hahaha...
Terima kasih Rektor UAI Prof. Dr. Ir. Asep Saefudd Terima kasih Rektor UAI Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc.
Bersama Dekan Fakultas Hukum UAI Dr. Yusup Hidayat Bersama Dekan Fakultas Hukum UAI Dr. Yusup Hidayat, S.Ag., M.H.
Sekali-sekali dapat predikat tertinggi selain ukur Sekali-sekali dapat predikat tertinggi selain ukuran badan hehe 😁
Alumni FH UAI angkatan 2018 👨‍🎓👩‍🎓 Alumni FH UAI angkatan 2018 👨‍🎓👩‍🎓
Alhamdulillah... Alhamdulillah...
Load More Follow on Instagram

My Tweets

    Sorry, no Tweets were found.

Arsip Blog

Posting Terakhir

  • Liburan Tipis-Tipis ke Singapura (2): Semakin Ramah bagi Turis Muslim
  • Liburan Tipis-Tipis ke Singapura (1): Tiket Pesawat Lebih Murah ketimbang Rute Domestik
  • Ogi, Amtenar Aktivis
  • Uji Bebas Covid-19
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (4): Bebas Ngebut di Jerman, Taat Speed Limit di Prancis dan Belanda
  • Nyetir Sendiri Keliling Eropa (3): Semua Urusan Dikelola Mesin, Bisa Curang Tapi Tetap Patuh
©2025 WINDEDE.com | Design: Newspaperly WordPress Theme