Menjadi maling itu belum tentu tabiat. Bisa terpaksa karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, lebih sering pula tergiring oleh nafsu tamak. Contohnya, orang-orang kaya yang masih maling juga dengan jalan korupsi. Walau bukan tabiat, perbuatan ini bisa tumbuh menjadi kebiasaan oleh sebab-sebab lingkungan.
Awal 2004, ketika saya ke Aceh dua pekan setelah tsunami, orang-orang Nanggroe berkisah soal budaya malu. Mereka bilang, orang Aceh paling pantang jadi pengemis. Sebagian dari mereka malah bilang, daripada mengemis lebih baik mencuri. Sebab ini soal harga diri. Menengadah tangan berarti merendahkan diri di hadapan sesama manusia. Padahal, urusan “merendahkan diri” itu hanya patut dilakukan di hadapan Tuhan.
Tapi apa yang terjadi? Dalam perjalanan dari Banda Aceh ke pesisir Pantai Ulhelue, saya menjumpai anak-anak Aceh yang menengadah tangan di pinggir-pinggir jalan. Tidak satu atau dua orang… banyak! Mereka berharap belas kasihan, di tengah banjir kiriman bantuan organisasi-organisasi yang (waktu itu) entah disalurkan ke mana. Seorang pemuda Aceh yang menemani perjalanan saya waktu itu lantas bilang; “…mereka mengemis bukan karena kehilangan rasa malu. Mereka mengemis karena hanya itu satu-satunya pilihan. Mau mencuri apa? Yang dicuri pun sudah tak ada.”
Itulah juga barangkali yang membuat anak-anak di satu ruas jalan di Jakarta, beberapa hari lalu, dengan riang mencuri minyak dari truk tangki milik Pertamina yang tengah parkir. BBM mahal, ada kesempatan mencuri, maka lakukanlah. Sebuah respon spontan dari anak manusia yang dipaksa hidup di tengah himpitan ekonomi – yang sebagian di antaranya terhimpit oleh kebijakan pemerintah sendiri.
Kita pasti sering dengar anjuran bijak soal tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi itu lebih mulia daripada meminta. Setiap kita tentu ingin menjadi bijak sedemikian. Tetapi haruskah orang dicela sebagai tidak bijak, padahal tangannya memang tak mungkin berada di atas? Patutkah cap pengemis dan maling dilekatkan kepada mereka yang, berkat proses pemiskinan terencana oleh pemerintah, memang harus hidup dalam ketidakmampuan – dan cara paling gampang untuk menjadi sedikit mampu adalah mengemis, atau mencuri…?
Boleh jadi, di hadapan Tuhan, anak-anak pencuri minyak ini masih lebih mulia, setidaknya bila dibandingkan dengan orang kaya yang mencuri minyak dalam jumlah luarbiasa lebih besar dengan motif memperkaya diri. Anak-anak pencuri minyak itu masih lebih mulia bukan karena perbuatannya, tetapi karena pencurian itu sungguh dilatarbelakangi oleh alasan yang masuk akal. Lagi pula, kalau orang kaya saja masih korupsi, bukankah wajar bila si miskin mencuri?
Seperti halnya mengemis, mencuri tentu bukan perbuatan baik. Tetapi baik dan buruk tidak bisa dilihat hitam-putih, ketika dunia semakin disesaki oleh contoh-contoh perbuatan tercela.
Seperti penjual parfum yang sudah kehilangan kepekan soal wangi, bukankah pemukim di tempat-tempat pembuangan sampah juga akan merasa lumrah hidup dalam bau?