Pernahkah Anda menyuap? Yang besar mungkin belum. Tapi yang kecil-kecil? Mengurus KTP, daripada repot, kita suap Ketua RT. Mengurus SIM, ketimbang pusing, mending menyuap petugas; langsung foto, langsung jadi. Bayar lebih nggak apa-apa lah, daripada capek. Bahkan Anda yang punya anak, juga kerap menyuap dengan memberi mainan, atau makanan, daripada si kecil ribut nangis melulu.
Praktek sogok dan suap ini kemudian menjadi budaya. Kita kadang kurang enak hati, ketika di hotel, seorang room boy mengantar kita dari lobi ke kamar, mengangkatkan barang bawaan, lantas berucap; â€Selamat istirahat, Pak.†Sopan-santun dan kebaikan si room boy kita hargai dengan memberi uang tip, meski sekadarnya.
â€Itu sih bukan menyuap,†seorang kawan berkata. â€Itu penghargaan dan uang lelah.†Mungkin benar. Tapi, praktek ini tentu berawal dari budaya. Kalau kita tidak beri uang tip, si room boy boleh jadi meninggalkan kita dengan wajah masam dan hati dongkol. Dan faktanya kita tak begitu suka didongkolin.
Budaya beri-memberi ini akhirnya benar-benar mendarah-daging. Orang yang terkena kasus hukum, harus melewati beberapa pintu penyuapan. Untuk meringankan beban hukum, selesaikan di meja polisi. Selesai polisi, masih ada meja jaksa yang juga punya laci. Lolos dari jaksa kita berurusan dengan hakim. Bahkan palu hakim pun bukanlah urusan terakhir. Ada tahapan selanjutnya, entah di tingkat pengadilan tinggi, atau malah di mahkamah agung.
Yang terakhir ini lagi heboh sekarang. Probosutejo, pengusaha top itu, buka-bukaan soal usaha dia terhindar dari palu hakim. Katanya, untuk memuluskan usaha bebas dari jeratan hukum, sekurangnya 16 miliar duit digelontorkan. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyuap sana-sini. Probo â€menyanyi†bukan tanpa sebab. Duit yang 16 miliar itu konon belum cukup untuk membuat dia menghirup udara bebas. Ada ketidakikhlasan ketika duit sudah keluar tapi masih pula terancam kena hukuman.
Kita mencatat banyak sekali kasus-kasus suap. Setiap waktu, di setiap tempat. Orang-orang hebat dan pandai di KPU pun sekarang harus mendekam di penjara. Urusannya tak jauh-jauh dari duit. Ratusan anggota DPRD di banyak kabupaten dan provinsi kini harus hidup di bui. Uang haram yang membawa mereka ke sana.
Di DPR RI, urusan percaloan anggaran sudah jadi rahasia umum (kok ada ya, rahasia tapi umum hehehe). Untuk memuluskan kucuran dana di daerahnya, sejumlah gubernur dan bupati harus menyumpal mulut anggota parlemen dengan bergepok-gepok uang. Supaya proposal proyek di daerah bisa mulus di pembahasan anggaran.
Rakyat kita tak luput juga dari budaya ini. Berkali-kali pemilu selalu menyisakan kisah money politic. Pilkada yang ramai di mana-mana mengungkap praktek-praktek penyuapan secara massal kepada calon pemilih. Para pemimpin kita harus menyuap rakyat supaya bisa memperoleh suara terbanyak.
Terakhir, kita tahu, pemerintah juga menyuap rakyat miskin dengan dana kompensasi BBM. Upaya menolak kenaikan BBM dilawan dengan program subsidi langsung tunai. Akhirnya, rakyat kita terbuai dengan program aneh itu… Dan lupa kalau harga-harga kebutuhan yang melonjak tak tertutupi dengan sekadar duit 300 ribu!
Republik ini mungkin masih tampak gagah dengan gugusan pulau-pulau yang cantik dan dongeng tentang kekayaan alam yang gemah ripah loh jinawi. Masyarakat kita pun sungguh menjadi begitu santunnya dan semakin memaklumi bahwa praktek suap-menyuap itu bukanlah haram. Itu justru dilakukan demi menjalin silaturahmi dan saling menghargai.
Begitulah. Syukurnya, di tengah buaian budaya-budaya kotor itu, kita belum kapok juga untuk tetap bangga jadi orang Indonesia.