Bencana gempa yang disusul badai tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam sudah berlalu lebih dari 40 hari. Namun, yang masih tampak di depan mata bukan saja kehancuran di seluruh penjuru kota. Mayat-mayat pun masih banyak terpendam di dalam lumpur, tertimbun reruntuhan bangunan.
ANGIN semilir menyapu wajah ketika kami turun dari mobil di perkampungan Lamprit, Banda Aceh. Bau angin dari arah laut itu terasa aneh. Tidak menyengat sebenarnya, tetapi sangat tak nyaman. Entah bagaimana menyebutnya. Semacam perpaduan antara bau busuk, anyir tanah lumpur dan genangan air yang berhari-hari tak punya tempat mengalir.
Sebagian besar rumah di kawasan padat penduduk itu telah rata dengan tanah. Hanya tersisa beberapa bangunan berlantai dua yang secara konstruksi memang lebih kokoh. Salah satu yang tersisa adalah bangunan Dayah Terpadu Inshafuddin, pesantren yang hari itu jadi sasaran penyerahan bantuan Radar Banjar Peduli.
Di balik reruntuhan bangunan itu, dua orang relawan tampak sibuk mengikat kantong mayat. Mereka baru saja memasukkan sesosok mayat ke dalam kantong berwarna putih itu. “Seperti mayat-mayat yang lain, sudah tidak utuh lagi,†kata seorang relawan. Ia menyambung, mayat tersebut adalah mayat ke tiga yang mereka temukan hari itu.
Setelah selesai diikat, kantong mayat digotong menuju jalan. Hujan yang mengguyur Banda Aceh malam sebelumnya membuat para relawan itu harus berjalan terhuyung-huyung di tengah tanah yang becek dan berair. Mereka menggeletakkan kantong berisi mayat itu di pinggir jalan, lantas berlalu lagi menuju reruntuhan untuk mencari mayat yang lain.
Tak berapa lama, sebuah truk berisi 8 anggota TNI melintas di jalan tersebut. Tanpa dikomando, pengemudi truk langsung berhenti di sisi kantong mayat yang baru digeletakkan para relawan. Empat tentara bersenjata lengkap berloncatan dari bak truk itu. Dengan sigap mereka angkat kantong mayat dan memuatnya ke dalam bak. Masya Allah, di dalam bak itu, ternyata sudah ada sedikitnya 5 kantong lain yang juga berisi jasad manusia!
Di Banda Aceh, juga kota-kota di sekitar negeri Tanah Rencong yang terkena musibah gempa dan tsunami, bertemu mayat sudah menjadi urusan biasa. Setiap hari para relawan selalu berjumpa mayat. Semakin hari kondisinya semakin hancur, hingga tersisa tulang belulang saja. Mayat korban tsunami memang tak kunjung habis ditemukan. Setelah lebih 140 ribu jenazah dikebumikan secara massal, diperkirakan masih ada dua kali lipat lagi korban yang jasadnya belum ditemukan, dengan kondisi telah hancur bersama lumpur dan reruntuhan bangunan.
“Kita tak pernah tahu, sampai kapan harus mengevakuasi mayat. Di Banda Aceh saja, masih sangat luas wilayah yang belum tersentuh. Kehancuran yang luar biasa membuat tim relawan sulit masuk lebih jauh ke dalam permukiman,†kata Syaifuddin, salah seorang tim relawan yang hari itu bekerja di Lamprit.
Proses evakuasi mayat memang sangat tergantung dengan kondisi lapangan. Hantaman air laut saat kejadian 26 Desember 2004 itu membuat perkampungan yang disapu tsunami luluh lantak. Sisa-sisa reruntuhan bangunan dan sampah yang dibawa air laut itulah yang dibersihkan perlahan-lahan. Baru setelah dibersihkan, tim evakuasi mayat bisa bekerja.
“Lebih sering juga, yang menemukan mayat adalah operator alat berat yang membersihkan puing-puing bangunan. Tim evakuasi tinggal datang untuk memasukkan ke dalam kantong mayat,†kata Syaifuddin.
Hari itu, setelah menyerahkan sejumlah bantuan ke pesantren Dayah Terpadu Inshafuddin, tim RBP kembali berkeliling ke daerah-daerah lain di Banda Aceh. Kerusakan terparah terjadi di pusat kota Serambi Makkah yang memang berjarak sangat dekat dengan pantai. Saking luasnya kerusakan itu, pinggiran pantai pun sudah bisa terlihat dari jarak 5 kilometer di pusat kota.
“Padahal, sebelumnya tak tampak apa-apa dari pusat kota ini kecuali bangunan yang sangat rapat. Badai telah membuat semuanya bersih, sampai laut pun sekarang bisa kita lihat dari kejauhan,†ujar Jamaluddin, salah seorang warga Aceh yang selamat.
Sepanjang jalan, sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah kehancuran. Saya yang baru pertama kali itu ke Banda Aceh sangat sulit membayangkan, bahwa di tanah yang kini hanya tersisa puing-puing itu, pernah ada sebuah kehidupan – yang bertahun-tahun dilanda konflik, lantas dalam sekejap diluluhlantakkan oleh Sang Pemilik Kehidupan. (bersambung)