Sukma Ayu akhirnya berpulang. Setelah hampir 6 bulan melewati hari-hari penuh misteri dengan tubuh terbujur kaku dan mata terpejam, “Rohaye” tak lagi bisa main bola seperti Ronaldo. Si Tomboy pendiam ini telah hilang bersama segenap rahasia mengapa dia sampai menjadi koma. Maut memanggilnya lebih cepat, dan di alam keabadian itu, Sukma tentu saja menanti kita, yang juga sedang menuju ke sana.
Saya sebenarnya tidak sesedih ibu-ibu yang meneteskan airmata menonton infotainment yang mem-blow up kematian Sukma. Bahwa saya bersedih, itu benar. Tetapi lebih karena Sukma terlanjur berpulang sebelum menceritakan apa sesungguhnya yang ia rasakan selama tidur panjang 6 bulan di ICU itu. Pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah saya tulis di posting terdahulu berjudul Mari Bicara tentang Mati.
Maut memang kehendak Tuhan, yang kapan pun dan dengan alasan apa pun bisa mengutus malaikat pencabut nyawa untuk memisahkan ruh dari jasad manusia. Jangankan Sukma yang sudah koma berbulan-bulan, orang yang tampak sedang baik-baik saja bisa tiba-tiba wafat. Konon, secara medis Sukma “mestinya” sudah wafat sejak berbulan-bulan yang lalu. Namun macam-macam peralatan di ICU membuat jantungnya tetap berdegub dan darah mengalir ke seluruh penjuru tubuh, sehingga ia dinyatakan hidup meskipun jasadnya “kasat mata” tak bergerak. Alat-alat medis tersebut berhasil “mengulur-ulur waktu” malaikat pencabut nyawa, yang memang sangat rasional dan baru akan “mencabut nyawa” setelah secara fisik ruh sudah tak sanggup bersemayam di dalam tubuh. Meski begitu, “penguluran waktu” hanya berlangsung sementara. Ilmu-ilmu kedokteran, yang sedemikian canggih itu, tetap tak bisa mempertahankan nyawa Sukma lebih lama.
Bayangkan betapa kompleksnya unsur-unsur kehidupan dalam tubuh kita. Sehingga meski teknologi modern membuat Sukma bisa bernapas dengan napas buatan, berdegub jantungnya dengan alat pacu dan terjaga sirkulasi darahnya berkat macam-macam mesin, Tuhan tetap memiliki teknologi yang jauh lebih dahsyat. Ketika ruh sudah dipisahkan dari jasad, tubuh dinamis kita tak lebih dari seonggok daging.
Selamat jalan Sukma. Jangan khawatir, kamu nggak akan kesepian kok, karena kami pun sedang menuju ke sana.
hai…! salam kenal y