Oleh-Oleh “Belanja Ide” Tim KPG ke Jepang dan Amerika
Selama hampir dua pekan, tim Kaltim Post Group (KPG) berkunjung ke Jepang dan Amerika. Oleh-oleh dari “belanja ide” di kedua negara itu dituliskan bergantian oleh anggota rombongan, bersambung mulai hari ini.
TUJUAN utama perjalanan tim KPG kali ini sebenarnya ke Amerika, untuk mengikuti event Kongres Pengelola Surat Kabar Sedunia di Washington DC, yang digelar World Association of Newspaper and News Publisher (WAN-IFRA). “Tapi penerbangan panjang ke Amerika itu melelahkan. Jadi sebaiknya kita mampir dulu, terserah mau ke Jepang atau Korsel, bergantung nanti pakai pesawat apa,” kata Zainal Muttaqin, chairman KPG dalam diskusi merencanakan trip ini pada pertengahan Maret 2015.
Setelah pilih-pilih penerbangan, diputuskan rombongan naik maskapai American Airlines. Untuk rute Jakarta-Washington, maskapai bekerja sama dengan Japan Airlines. Artinya, bisa singgah di Tokyo. Transit dua hari sudah lumayan untuk meluruskan kaki dan menyegarkan badan kembali sebelum long-haul flight. Sebuah penerbangan panjang ke Benua Amerika; melewati separuh lingkar bumi, menyeberangi Samudra Pasifik, menghabiskan durasi terbang 12 jam di udara.
Tim KPG dalam trip kali ini berformasi cukup lengkap. Selain Zainal Muttaqin, ada CEO Kaltim Post Ivan Firdaus, dua direktur Kaltim Post Tatang Setyawan dan Rusdiansyah Aras, dua pemimpin redaksi Kaltim Post Chrisna Endrawijaya dan Rizal Juraid. Ada pula Direktur Samarinda Pos Ludia Sampe, Manager Iklan Harian Kalteng Pos Sudiyono, dan saya sendiri, yang sehari-hari bertugas di Kaltim Post Biro Jakarta.
Meski hanya singgah, kesempatan di Jepang tidaklah disia-siakan untuk sekadar beristirahat di penginapan. Waktu dua hari itu malah nyaris dihabiskan untuk semaksimal mungkin mengeksplorasi Tokyo. Mengunjungi spot-spot menarik seperti kediaman kaisar Jepang di Tokyo Imperial Palace. Lalu, menjelajahi kuil-kuil bersejarah di Asakusa. Kami pun naik ke puncak Tokyo Tower lalu window shopping di pusat elektronik Akihabara. Ini yang lebih serius; studi banding ke Asahi Shimbun, koran terbesar nomor dua di Jepang yang beroplah 7,6 juta pada edisi pagi dan 2,7 juta di edisi sore.
Orang koran berkunjung ke perusahaan koran, tentu yang ingin diserap adalah ilmu bertahan mencetak berjuta-juta eksemplar koran di tengah gempuran media digital yang semakin masif. Dengan infrastruktur internet di Jepang yang sudah lebih maju dari Indonesia, pasti ada “sesuatu” yang membuat warga Jepang masih terus membaca Asahi Shimbun versi kertas.
“Saya kira, baik Asahi maupun Kaltim Post sama-sama terus berusaha, mengedukasi orang agar tetap membaca koran edisi cetak. Terutama anak-anak muda yang lahir di era gadget ini,” kata Takeshi Fujitani, pimpinan Asahi Shimbun yang menerima rombongan KPG.
Melihat dari dekat proses kerja Asahi Shimbun yang begitu efisien, dengan news room yang lengkap untuk semua platform media, rombongan mendapat banyak sekali ide. Termasuk cara wartawan pada era digital sebaiknya memperlakukan sebuah informasi; memilahnya untuk platform media yang membutuhkan kesegeraan, seperti online dan radio, kemudian mengolah lagi informasi tersebut menjadi in depth reporting (reportase mendalam) yang disuguhkan di koran cetak pada keesokan hari.
“Dengan cara itulah, koran cetak tetap bertahan dan memiliki pembaca setia. Dengan menjaga kualitas konten dan menyuguhkan sesuatu yang berbeda, yang tidak didapatkan orang di platform media lain seperti news online,” kata Fujitani.
Bukan hanya itu, yang juga perlu diperhatikan adalah pelayanan maksimal; kualitas cetak dan kemampuan delivery tepat waktu ke pelanggan. Orang Jepang yang terkenal hidup disiplin dan serba teratur memaksa Asahi Shimbun memerhatikan betul faktor distribusi. Mesin-mesin di percetakan mengerjakan semua urusan dari printing sampai packing koran secara mekanis.
“Benar-benar inspiratif. Kita belajar supaya koran panjang umur,” kata Ludia Sampe, direktur Samarinda Pos.
Hampir semua koran yang dicetak Asahi, kata Fujitani, didistribusikan untuk pelanggan, langsung ke rumah-rumah. Ada sedikitnya 3 ribu agen koran dan 73 ribu loper yang bekerja sama dengan Asahi Shimbun di seluruh wilayah Jepang. Selebihnya, koran dijual eceran di news stand jaringan minimarket di stasiun kereta, pusat belanja, dan area publik.
“Orang Jepang memang suka membaca. Tinggal mempertahankan kebiasaan membaca koran, alih-alih berpindah ke gadget,” ujar Fujitani, yang pernah ditugaskan Asahi Shimbun sebagai perwakilan di Biro Jakarta selama tiga tahun.
Dalam hal ini, memang, pengelola koran di Indonesia boleh dibilang punya tantangan dua kali lebih berat. Audiens koran Indonesia adalah masyarakat yang belum punya kultur membaca tapi sudah telanjur suka gadget.
“Tapi dengan kondisi seperti itu pun, koran-koran di Indonesia juga kan maju-maju. Buktinya kalian bisa jalan-jalan ke Jepang dan ke Amerika,” seloroh Fujitani.
Salah satu usaha mempertahankan pembaca yang dilakukan Asahi Shimbun adalah mengelola pembaca muda lewat rubrikasi anak muda dan event di sekolah. Mereka juga membuka lebar-lebar pintu kantornya untuk kunjungan siapa pun yang ingin melihat proses penerbitan surat kabar. Seperti saat kedatangan tim KPG, serombongan pelajar SMP yang sedang study tour. Mereka diajari proses sejak awal wartawan melakukan wawancara, editing berita, layout halaman, hingga percetakan dan distribusi.
Kantor Asahi Shimbun yang hiruk-pikuk, kesibukan para pekerja di newsroom, pelajar yang antusias ingin tahu proses menerbitkan surat kabar, bukan saja menjadi inspirasi rombongan kami yang tengah “belanja ide” ini. Membangkitkan pula keyakinan bahwa masa depan koran (cetak) tidaklah semuram prediksi banyak kalangan. (bersambung)