Nasib Temindung, Bandara Kecil di “Kota Besar” Samarinda

Di tengah penantian proyek bandara baru di Sungai Siring yang tak kunjung selesai itu, warga Samarinda masih bisa menggunakan Bandara Temindung untuk bepergian dengan pesawat, meski dengan pilihan rute dan maskapai sangat terbatas. Bandara Kelas II yang landasan pacunya sering kebanjiran dan gedung terminalnya semakin ketinggalan zaman.
SELAMAT datang di Samarinda. Kali ini bukan Jembatan Mahakam yang menyambut, seperti biasanya kalau lewat jalur darat, tetapi tulisan besar TEMINDUNG di atap sebuah bangunan berwarna kelabu.
Langit teramat cerah di pagi Jumat (17/1) itu. Pesawat Cessna C208B Grand Caravan yang dioperasikan Susi Air mendarat mulus setelah terbang 30 menit dari Bandara Sepinggan Balikpapan. Dua bule yang jadi pilot dan co-pilot pesawat berkapasitas 12 penumpang ini hanya membalas senyum saat saya mengucapkan terima kasih. Saya merasa perlu mengucapkan terima kasih karena selain pesawat mendarat dengan nyaman, saya juga duduk persis di belakang pilot, di baris pertama kursi penumpang, sehingga bisa langsung menyapa keduanya.
Tak banyak kesibukan di Bandara Temindung pagi itu. Di ruang keberangkatan hanya ada beberapa orang yang sepertinya akan menumpang pesawat yang tadi saya tumpangi, mungkin untuk rute terbang kembali ke Balikpapan. Saya bisa melihatnya dari dinding kaca pembatas antara ruang kedatangan dengan ruang keberangkatan.
Dua petugas bandara berseragam biru muda duduk-duduk sambil ngobrol di pojokan ruang kedatangan. “Lewat situ pak,” kata salah seorang di antaranya kepada saya, sambil menunjuk lorong menuju pintu keluar. Hanya beberapa langkah, saya sudah berada di luar gedung, disambut halaman parkir yang terisi beberapa mobil pribadi dan riuh suara para penjemput.
“Coba datangnya dua hari yang lalu, mungkin ndak bisa mendarat, masih banjir,” kata kerabat yang menjemput saya.

Akses keluar Bandara Temindung melewati Jl Pipit menuju Jl Gatot Subroto sedikit tersendat oleh jalan yang berlubang. Aspalnya terkelupas bekas dihajar genangan air. Jalan rusak terus berlanjut di jalur perjalanan saya ke rumah orangtua di Jl Sentosa, melewati Jl A Yani dan Jl Remaja. Musim hujan dan banjir seperti sekarang memang membuat banyak jalanan di Kota Tepian berantakan.
Meski begitu mendarat di Bandara Temindung yang berada di tengah-tengah kota membuat perjalanan saya ke rumah orangtua di Samarinda begitu singkat. Terbang 30 menit dari Balikpapan ditambah dari Temindung ke rumah 10 menit, tak sampai 1 jam. Biayanya pun tidak lebih mahal dari sewa (carter) mobil dari Bandara Sepinggan. Untuk bepergian seorang diri Balikpapan-Samarinda, naik pesawat memang hemat waktu dan biaya sekaligus.
Tetapi karena saya tinggal di Jakarta, tentu akan lebih praktis lagi kalau bisa terbang langsung dari Cengkareng ke Samarinda, tanpa perlu transit di Balikpapan. Apalagi pilihan penerbangan dari Balikpapan ke Samarinda sangat terbatas dan waktunya pun tidak selalu cocok untuk connecting flight (penerbangan terkoneksi).
Orang Samarinda juga pasti sangat gembira kalau bisa terbang langsung ke kota-kota seperti Surabaya, Jakarta, Makassar atau Denpasar tanpa harus lebih dulu melakukan perjalanan darat ke Balikpapan, yang sekarang bisa memakan waktu 3 jam. Akses penerbangan langsung keluar pulau dari Samarinda diyakini akan mengubah banyak hal di Samarinda.
Sebagai kota yang terus menjelma menjadi “kota besar”, keberadaan sebuah bandara yang representatif adalah kebutuhan. Kutipan dialog warga Samarinda di Bandara Sepinggan Balikpapan, yang dituliskan Chairman Kaltim Post Zainal Muttaqin di harian ini edisi Minggu (19/1) lalu adalah gambaran, betapa orang Samarinda bukan saja kepingin punya bandara sendiri, yang bisa menerbangkan mereka ke kota-kota yang jauh, tetapi juga ingin merasakan kebanggaan sebagai warga sebuah kota besar.
Sayangnya keinginan itu harus terus tertunda. Pembangunan Bandara Samarinda Baru yang sudah dimulai sejak 2005 itu hingga kini masih mandek. Belum ada tanda-tanda akan selesai – malah direcoki sejumlah masalah.
Untuk merasakan pengalaman naik pesawat dari kotanya sendiri, warga Samarinda masih harus terbang lewat Temindung, bandara kelas II yang levelnya (sebagai perbandingan) tidak lebih bagus dari Bandara Djalaluddin di Gorontalo, Bandara Haji Asan di Sampit, atau Bandara Domine Eduard Osok di Sorong – padahal jelas sekali Samarinda jauh lebih maju dan lebih besar dibandingkan kota-kota itu.
***

Demi merasakan terbang dari Samarinda itu pula, saya akhirnya memilih pulang naik pesawat lagi ke Balikpapan. Senin (20/1), pagi-pagi saya diantar keluarga ke Temindung. Kali ini agak ramai karena ada dua penerbangan lain yang berangkat pada waktu berdekatan. Satu flight ke Tarakan dan satu lagi ke Berau. Suasana juga hiruk-pikuk karena ada rombongan anak-anak TK yang sedang diajak gurunya beranjangsana keliling area bandara.
Fasilitas terminal memang sesuai kelas bandara; pemeriksaan barang dan penumpang yang tidak terlalu ketat, check in counter yang sangat sederhana, boarding pass ditulis manual, airport tax hanya Rp9.000, dan ini yang akan sangat jarang ditemui di bandara lain: wajib timbang badan.
Saya juga bisa mengajak keluarga pengantar masuk sampai ke area ruang tunggu. Cukup bayar Rp10.000 per orang ke petugas di pintu masuk, tanpa karcis atau tanda terima. Yang disebut ruang tunggu itu, sodara-sodara, adalah ruangan kosong yang hanya berisi jejeran kursi. Tak ada kafe apalagi pedagang oleh-oleh. Jangan tanya apakah ada lounge. Untuk beli minum bisa keluar dulu, ada warung di depan sebelum area check in.
Dari ruang tunggu, aktivitas di area apron bandara terlihat jelas. Petugas mengangkut bagasi menggunakan gerobak besi yang didorong dengan tenaga manusia (tidak ditarik mobil). Di kejauhan, terparkir dua pesawat kecil, kemungkinan Airvan GA-8 milik Pemprov Kaltim. Kabarnya pesawat-pesawat itu hendak dijual, karena pengoperasiannya merugi.
Panggilan boarding tidak menggunakan pengeras suara. Petugas datang membuka pintu dan penumpang beranjak satu per satu dari kursi ruang tunggu, lalu berjalan kaki menuju pesawat. Saya menumpang pesawat yang sama dengan pilot dan co-pilot yang sama pula dengan penerbangan Balikpapan-Samarinda hari Jumat lalu.
Selain saya, penumpang lain yang saya kenali wajahnya adalah Dirut Perusda Melati Bhakti Satya (MBS) Sabri Ramdhani. MBS ini adalah perusahaan yang selama ini dipercaya Pemprov Kaltim mengelola pesawat-pesawat Airvan GA-8 yang merugi dan hendak dijual itu. Dalam hati saya bergumam, menumpang Susi Air ini ke Balikpapan pasti lebih hemat bagi Pak Sabri dibandingkan naik Airvan GA-8 yang dikelolanya.
Saya duduk di kursi paling belakang, untuk merasakan pengalaman berbeda karena sebelumnya di kursi paling depan. Tapi pesawat tak langsung berangkat. Rupanya menunggu dua penumpang lagi, yang datang dari Gedung VIP. Dia adalah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, yang berjalan didampingi seorang ajudan. Saat naik ke atas pesawat, Pak Awang menyalami orang yang duduk di sebelah saya, yang ternyata adalah Rektor Unmul Zamruddin Hasyid. Saya tadinya memang familiar dengan wajahnya, tapi baru ngeh bahwa itu adalah Rektor Unmul setelah Pak Awang menyapa beliau.
Saya pun ikut menyalami Pak Awang. Beliau tersenyum dan bertanya apa kabar, lalu langsung menuju kursi depan. Karena saya ragu apakah beliau masih ingat saya (saat saya reporter Kaltim Post dulu, beliau menjabat Kepala Bapedalda Kaltim), maka saat mendarat di Sepinggan Balikpapan sebelum Pak Gubernur naik mobil jemputan, saya salami sekali lagi. “Eh ikam di mana, Win sekarang? Masih di Kaltim Post kah?”
Hehe, ternyata beliau masih ingat saya. Sayangnya saya tak sempat bertanya-tanya, misalnya bagaimana rasanya tetap naik pesawat dari Bandara Temindung (yang pasti sering beliau lakukan) padahal mestinya sudah bisa dari Sungai Siring? Bagaimana rasanya menggunakan maskapai komersial padahal Pemprov Kaltim punya pesawat sendiri? Dan bagaimana rasanya mendarat di Bandara Sepinggan Balikpapan yang namanya sedang beliau wacanakan untuk diganti?
Pertanyaan itu tadinya ingin saya simpan saja dalam hati, sampai akhirnya saya bocorkan lewat tulisan ini. ***
Kalau naik Susi atau Kalstar kayaknya memang harus timbang badan, wal… di Bulungan juga soalnya… *tersinggung waktu disuruh timbang badan*
Naik pesawat kecil apa nyaman?
Kenapa ya, pesawat-pesawat kecil di Indonesia kebanyakn pilot nya bule.