Menjelajah “Wisata Perang” Vietnam (3-habis)
Perang bagi bangsa Vietnam adalah sejarah panjang. Jauh sebelum invasi Amerika dalam konflik saudara Utara dan Selatan, Perancis sudah lebih dulu menjajah. Peninggalan kolonial ini juga jadi dagangan wisata.
KOTA Saigon (kini Ho Chi Minh City) mulai dikuasai kolonial Perancis pada 1857. Sejak saat itu, kota di pinggir Laut China Selatan ini dibangun dengan gaya dan arsitektur Eropa yang kental; gedung-gedung neo-klasik, jalan-jalan lebar dan taman boulevard yang lapang. Sebuah gereja kuno, Katedral Notre Dame masih berdiri kokoh di tengah kota, anggun dengan susunan bata merah dari abad 17.
Di sebelah Notre Dame ini terdapat gedung Kantor Pos Pusat (Buu dien Thanh Pho), dibangun tahun 1886 dan sampai hari ini masih berfungsi sebagai kantor pos. Aktivitas surat-menyurat tampak tetap sibuk saat saya bersama Dewa Pahuluan berkunjung ke sana pekan lalu.
“Anda bisa mengirim surat ke mana saja di seluruh penjuru dunia dari kantor pos ini,” kata seorang pegawai di kantor pos itu berpromosi. “Dan di Vietnam, ini adalah salah satu layanan publik yang tetap buka meski di hari libur, selain rumah sakit.”
Seperti hendak mengenang masa-masa jaya korespondensi surat antar-manusia di dunia, di kantor pos ini disediakan beragam model kartu pos, juga perangko-perangko unik dari masa lalu. Sesuatu yang di zaman internet dan kemudahan teknologi sekarang sudah mulai ditinggalkan manusia modern. Di halaman kantor pos, remaja-remaja Vietnam menawarkan album berisi koleksi perangko dan uang kuno. Dengan gigih mereka menawarkan dagangan, sehingga dari semula dibuka harga 100 USD per album, bisa turun sampai 20 USD.
Gedung-gedung bergaya Eropa peninggalan kolonial Perancis ini menjadikan lanskap kota Ho Chi Minh seperti berwajah dua; dua zaman. Di banyak sudut bangunan modern mulai mencakari langit, di sudut yang lain, terutama tengah kota, gedung-gedung neo-klasik terawat rapi dan setiap hari selalu ramai, baik oleh kunjungan turis maupun aktivitas rutin penduduk sehari-hari.
Selain Notre Dame dan Kantor Pos Pusat, gedung dari masa kolonial yang masih terawat hingga saat ini adalah Balai Kota (Uy ban Nhan dan), Gedung Teater Munisipal (Nha hat Thanh pho), Museum Revolusioner (Bao tang Cach mang), Kantor Bank Negara (Ngan hang Nha nuoc) dan Gedung Pengadilan Rakyat (Toa an Nhan dan).
Ikon bersejarah lainnya adalah Gedung Reunifikasi, sebuah presidential palace (istana presiden) yang dulu merupakan pusat pemerintahan Republik Vietnam. Inilah negara yang umurnya cukup singkat, diproklamirkan tahun 1955 ketika kekaisaran Bao Dai tumbang, namun harus bubar setelah tunduk di bawah kekuasaan Republik Demokratik Vietnam pada 1976, melalui perang saudara lebih dari 20 tahun. Istana presiden di Saigon ini akhirnya dijadikan museum, karena pusat pemerintahan Vietnam berada di Hanoi di utara.
Tetapi Gedung Reunifikasi saat ini masih dipakai sebagai tempat konferensi dan rapat-rapat penting. Kemegahan istana presiden ini masih terasa, dengan halamannya yang luas dihias air mancur, menghadap alun-alun kota. Dua buah tank militer dipajang di sayap kiri istana, lengkap dengan penjelasan bagaimana tank ini dulu menjadi benteng pertahanan terakhir di depan istana, menjelang kejatuhan pemerintahan Republik Vietnam.
Setelah Vietnam Utara dan Vietnam Selatan bergabung, terbentuklah Republik Sosialis Vietnam tahun 1976. Inilah Vietnam modern, yang meskipun dibangun dengan konstitusi baru, tetap mempertahankan peran utama Partai Komunis di semua organ pemerintah, politik dan masyarakat. Vietnam dipimpin seorang presiden sebagai kepala negara, dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Meski pusat birokrasi berada di Hanoi, Ho Chi Minh tetap menjadi kota penting dan tersibuk di Vietnam. Ekonominya paling maju. Jalanan kota Ho Chi Minh sekarang dipenuhi kendaraan-kendaraan baru. Selain mobil-mobil built up, banyak juga mobil merk Jepang yang dirakit di pabrik setempat. Sepeda motor matic produk China merajai pasar, tampak dari dominasinya di jalanan lebar yang setiap lajurnya dibuat dua jalur: untuk mobil dan khusus sepeda motor.
“Jumlah penduduk Ho Chi Minh mencapai 6,5 juta. Sebanyak itu juga jumlah sepeda motornya,” seloroh Nguyen Tanh, pemuda Vietnam yang dengan setia menemani perjalanan kami. Menurutnya, harga sepeda motor yang semakin murah membuat semua orang akhirnya memiliki kendaraan itu.
Bagi turis asing, Ho Chi Minh mungkin tidak semenarik Bali, yang punya alam sangat indah dan pantai bak surga. Tetapi strategi menjual wisata perang rupanya cukup ampuh menarik wisatawan datang ke Saigon. Di mana-mana tampak orang bule dari Australia, Amerika atau Eropa.
Saat makan malam di sebuah kapal wisata sambil menyusuri Sungai Saigon, misalnya, hanya saya dan Dewa Pahuluan yang orang Asia, sementara meja makan lain diisi turis Eropa dan Amerika. Orang Asia lain saat itu adalah pelayan restoran dan dua gadis pemain kecapi yang memainkan musik China klasik.
Dewa lalu mengambil Blackberry dari saku celananya. Membuka aplikasi Facebook, lantas menuliskan status: “Lagi makan malam di kapal wisata menyusuri Sungai Saigon, sudah kayak turis jua…”
Aliran tenang air Sungai Saigon yang bermuara di Delta Mekong itu seolah mengantarkan pikiran kami, juga para turis lain di kapal wisata itu, pada satu kesimpulan: perang memang buruk, tapi akan lebih buruk kalau terus menyerah. Itulah yang mungkin membuat Vietnam bisa segera bangkit. (habis)
1 thought on “Kota Modern Dibangun, Kota Tua Dipertahankan”