MENJADI kaya ternyata bukan lagi cita-cita semua orang. Sekarang, semakin banyak yang bukan saja mengidamkan kemiskinan, tetapi juga berjuang sekuat tenaga agar menjadi (atau setidak-tidaknya dianggap) miskin. Bukan lagi pribadi-pribadi. Usaha “memiskinkan diri†bahkan telah pula berlaku jamak sebagai keinginan kolektif. Melembaga sebagai sikap institusi.
Bukan cerita baru kalau di kota-kota di mana asuransi kesehatan bagi warga miskin disediakan sebagai fasilitas percuma, orang-orang ramai mendaftarkan diri, meski sesungguhnya hidup masih dalam kadar kecukupan yang wajar. Berbondong antre untuk disahkan sebagai bagian dari kaum papa, yang karena itu lantas menjadi berhak disantuni. Cap kemiskinan itu, dengan kerelaan dan kesadaran, dilekatkan tanpa sedikitpun rasa sungkan.
Di tengah semakin banyaknya program-program bantuan dan subsidi dari pemerintah, statistik warga miskin alih-alih berkurang justru terus bertambah. Ada semacam keterpautan yang pasti antara meningkatnya jumlah bantuan, dengan meningkatnya pula barisan penerima bantuan. Maka, Kalau dulu ada istilah orang kaya baru (OKB), sekarang sedang tren orang miskin baru (OMB).
Para OMB ini sebenarnya tidaklah miskin dalam pengertian “ekonomi sulitâ€, seperti yang selama ini lazim dipahami. Boleh jadi kemiskinannya lebih disebabkan oleh dua hal; keterpaksaan mengingat sistem memang membuatnya menjadi tak berdaya, atau terkikisnya rasa malu. Pada sebab yang pertama, sistem oleh penyelenggara negara memang bisa menciptakan kemiskinan komunal yang bahkan terorganisir. Pada sebab kedua, mental miskin menjadi budaya biasa.
Orang, misalnya, harus mengaku miskin untuk bisa berobat ke rumah sakit. Harus mengaku miskin agar dapat beli beras dengan harga yang wajar. Juga perlu mengaku miskin supaya sekolah anak tak terhalang tingginya biaya.
Dan negara, dengan para penyelenggara yang isinya orang-orang pintar itu, terus saja membuat sistem di mana kemiskinan seolah adalah sebuah pekerjaan yang tak harus diselesaikan hingga tuntas. Cukup diurusi saja. Itu sebabnya ada kalimat dalam salah satu pasal UUD 45, yang menyebut bahwa “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negaraâ€. Ya, dipelihara. Semacam dilestarikan begitulah. Bukan dicarikan jalan keluarnya.
Sejak dulu republik ini sudah punya departemen sosial, yang punya turunan sampai ke pelosok daerah; dari dinas sosial hingga biro sosial. Urusannya tak jauh-jauh dari penanganan fakir miskin dan anak telantar yang diamanatkan undang-undang itu.
Sekarang, ada lagi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, yang fokus mengurusi daerah-daerah berklasifikasi “tertinggalâ€. Di luar itu, sejumlah organisasi berkhidmat pula mengurusi orang-orang miskin. LSM-LSM, yayasan-yayasan, lembaga-lembaga sosial. Semua menunjukkan kepedulian. Semua hendak “mengentaskan†kemiskinan.
Pidato-pidato pejabat kita pun masih tak jauh dari mimpi menyejahterakan rakyat. Kampanye-kampanye politik, baik pemilu maupun pilkada, selalu saja mengangkat tema keberpihakan pada ekonomi kerakyatan. Janji-janji politik tak bergeser dari iming-iming perbaikan taraf dan kualitas hidup.
Hasilnya? Jumlah orang miskin tak berkurang. Antrean pendaftar gakin mengular panjang. Pengemis di jalan dan ruang publik tak kunjung habis biar dirazia rutin setiap hari. Orang-orang terus saja mengeluh, berteriak tentang harga-harga kebutuhan pokok yang melambung.
***
Miskin tampaknya harus diredefinisi lagi. Pada situasi dan keadaan seperti apakah seseorang layak disebut miskin? Banyak orang yang secara ekonomi hidupnya berlangsung wajar, tetapi memang wajar untuk hidup sehari-hari itu saja. Ketika ada kebutuhan mendadak seperti keluarga sakit, tak ada tabungan yang cukup untuk membiayai. Maka dibunuhlah rasa malu. Ikut saja antre mendaftar dalam barisan keluarga penerima bantuan, demi diskon lumayan atau malah gratis kalau harus masuk rumah sakit.
Miskin juga menjadi relatif ketika kita menjumpai fakta bahwa di zaman ini, orang bisa saja kere, tapi ke mana-mana menggenggam telepon selular pribadi. Orang bisa miskin, tapi tunggangannya sepeda motor baru – meskipun, misalnya, dikredit dengan cicilan yang harus diperjuangkan susah payah setiap bulan. Tinggal memang di rumah kontrakan, tapi kamarnya ber-AC, ada televisi sampai dua tiga biji, lengkap dengan play station dan perangkat pemutar DVD.
Sekarang, seiring teknologi yang juga maju, sudah biasa setiap keluarga punya kulkas, televisi, penanak sekaligus pemanas nasi elektrik, mesin cuci, dan macam-macam perabot. Apalagi lembaga-lembaga penyedia jasa kredit semakin banyak dan syarat memperoleh kredit semakin mudah. Cukup dengan selembar kartu keluarga, alamat tetap rumah, dan jaminan kepastian penghasilan, orang bisa bawa pulang sepeda motor baru hanya dengan uang muka Rp 500 ribu.
Saya kerap menerima keluh kesah, dari orang yang berkisah tentang beratnya menjalani hidup karena keuangan cekak, sulit mencari kerja, dan harga kebutuhan hidup semakin mahal. Keluh kesah itu dikirim lewat SMS yang panjaaaang sekali. Kira-kira 6 sampai 8 sheet SMS. Apa artinya? Ekonomi boleh sulit, tapi masih bisa punya handphone canggih (kalau tidak canggih tak mungkin bisa kirim lebih 1 sheet SMS sekaligus), dan – ini yang juga penting— pulsanya cukup.
Memang, tak sedikit juga jumlah saudara kita yang masih sangat miskin dalam pengertian sesungguhnya. Ya sungguh-sungguh miskin. Orang-orang yang hidupnya memang dilingkupi kesulitan ekonomi, dan karena itu sangat layak disubsidi. Untuk merekalah sebenarnya program-program bantuan sosial dan layanan gratis itu mestinya dipersembahkan.
***
Tetapi inilah Indonesia, negeri yang kekayaan utamanya adalah kemiskinan. Republik ini bahkan pernah harus mengaku miskin demi mendapat pinjaman dari IMF. Tersungkur dalam cap “kesulitan ekonomi†untuk menarik rasa iba negeri-negeri donor mengirimkan bantuan. Menengadah tangan di tengah fakta bahwa meskipun negerinya miskin, sejumlah orang Indonesia mengisi daftar teratas orang-orang kaya di Asia.
Inilah Indonesia, yang hampir semua BUMN-nya merugi, tapi pejabat-pejabat di BUMN itu hidup berlimpah kekayaan. Sekadar mengambil misal, tengoklah PLN dan PDAM, dua perusahaan monopoli milik negara yang tak kunjung untung itu. Bos-bos di dua tempat itu dijamin kaya-kaya.
Makanya kita tak perlu kaget, ketika tiba-tiba ada protes dari Pemkab Kutai Barat di Kalimantan Timur, karena status daerahnya ditingkatkan dari “daerah tertinggal†menjadi “daerah tidak tertinggalâ€. Protes karena dianggap sudah maju. Mungkin ibarat orang miskin yang marah karena dituduh kaya. Maklum, kalau tak lagi masuk kategori “daerah tertinggalâ€, pupuslah harapan mendapat tambahan dana bantuan pusat untuk pembangunan.
Jangan pula terkejut melihat organisasi-organisasi, yang datang “mengemis†bantuan ke pemerintah daerah, dengan proposal-proposal tebal untuk merebut dana bansos, meski organisasi itu dipimpin oleh pejabat di pemerintah sendiri, atau anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka pasti bukan orang-orang miskin. Tetapi harus “memiskinkan†diri secara kolektif supaya dapat bantuan.
Semakin banyak orang berebut miskin. Berlomba-lomba mengantongi “sertifikat tanda kemiskinan†demi layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai, karena meskipun tidak benar-benar miskin, memang tak sanggup bayar pengobatan. Di negeri-negeri maju, layanan kesehatan dan pendidikan sudah gratis. Tapi rakyatnya tak perlu merasa, apalagi mengaku miskin, untuk menikmati fasilitas itu.
Dalam banyak hal, kaya atau miskin akhirnya memang soal rasa. Orang boleh sulit ekonominya, tapi dengan hati dan mental yang kaya, kesulitan ekonomi itu tak lantas membuatnya serasa miskin. Ada semacam gengsi dan harga diri, sehingga hidup tak harus dijerumuskan ke dalam lubang kemiskinan.
Banyak orang-orang bersahaja seperti ini, yang memang miskin karena keadaan, bukan oleh kemanjaan sikap dan mental – seperti banyak kita jumpai akhir-akhir ini. Orang-orang yang, meminjam istilah bos Jawa Pos Dahlan Iskan: “miskin bermartabatâ€.
Kalau si miskin saja harus bermartabat, entah apa istilah yang pas untuk orang-orang manja yang sebenarnya berkecukupan, tapi malah mengaku-aku miskin. ***
aKU JUGA MISKIN..
KARENA GA SANGGUP BELI TIKETE NTUK PULKAM SETIPA TAHUN..
HIKSS…MISKIN..MISKIN..:((
btw jadi ke JP mas Erwin..?
salam tahun baru
yang penting jangan rebutan miskin hati… itu saja
Ini negeri segala mimpi pak, tempat semua mimpi terkumpul. Orang2 miskin memang menjadi tidak bermartabat ketika kemiskinannnya dijadikan alasan untuk menangguk belas kasihan orang lain. Kita boleh miskin, tapi jangan miskin hati dan semangat, bukan begitu pak…?
menarik mas, disaat kemiskinan dijadikan komoditas, bencana dijadikan bisnis,…..bersama-sama menggali lubang kehancuran,..Indonesiaku sayang indonesiaku malang…..jgn samapi miskin moral dan hati deh,…alamat kehancuran yang menjelang
Sebuah fakta yang pahit namun harus diakui keberadaannya. Miskin, selain dari wujud nyata, juga adalah manifestasi pola-pikir. Seseorang yang sudah berlimpah harta-kekayaan-nya, akan terus mengemis karena hatinya merasa miskin terus.. Na’udzubillah himindzalik – semoga kita terhindar dari jenis karakter seperti itu.
Berhentilah pura-pura miskin, malu atuh! 😀
Selama saya di Balikpapan, saya belum menemukan pengemis di pinggir jalan sehingga uang receh yang biasanya saya siapkan ketika masih di Surabaya atau Jakarta, tidak pernah tersentuh untuk diberikan. Apakah itu pertanda di Balikpapan berbeda dengan tempat2 yang lain ya???
Biarlah kita miskin harta, asalkan jangan miskin hati…. klo hati kita semua udah miskin, waaah gawat bisa2 ancur negara ini….