Berbulan-bulan menghirup udara kotor penuh asap adalah sebuah persoalan. Saya tidak yakin akan baik-baik saja bila memeriksa paru-paru, meskipun, ternyata, bakat asma saya tidak kambuh dengan serbuan asap itu. Entah apakah asmanya yang sembuh, atau udara kotor memang telah membuat saya imun. Yang pasti, saya sangat merindukan udara bersih, sejuk, bebas polusi.
Maka, ketika pekan lalu seorang kawan harus pulang kampung ke Muara Labuh, Sumatera Barat, karena saudaranya meninggal dunia, saya langsung setuju begitu diajak. Apalagi si kawan memang berpromosi mengenai kampungnya yang masih alami; berada di kawasan Bukit Barisan dengan hutan yang masih perawan.
Dari Banjarbaru, perjalanan harus tertunda karena sejak pagi bandara tertutup kabut asap. Baru bisa terbang setelah pukul 17.00, ketika angin laut meniup asap, menjauhkannya dari daratan. Kami mendarat di Soekarno-Hatta ketika langit sudah gelap. Langsung hunting tiket ke Padang. Tersisa satu flight dan itu pun kursi telah penuh. Kesabaran menunggu dan sedikit usaha membuahkan dua kursi mahal di detik-detik sebelum pesawat berangkat. Malam itu juga, kami tiba di Padang.
Ini adalah kunjungan saya ke tiga kalinya ke Padang. Tahun 1998, bersama tim jurnalis LPDS Jakarta saya singgah ke Padang setelah melakukan trip dari Jambi ke Sungai Penuh, sebuah kota kecil di kaki Gunung Kerinci. Kali kedua tahun 2005, sepulang dari Banda Aceh, hanya transit sebentar di Bandara Tabing. Kunjungan ketiga ini menjadi pengalaman pertama merasakan Bandara Minangkabau yang mewah itu.
Setelah singgah di sebuah kedai untuk bersantap malam, dengan menu Sate Padang dan Martabak, kami langsung meluncur ke Muara Labuh dengan men-carter taksi bandara. Perjalanan harus ditempuh 3 jam dengan kondisi jalan berkelok-kelok. Tak ada yang terlalu menarik untuk dinikmati karena kegelapan malam menyembunyikan keindahan alam. Toh, kami tak bisa tidur. Sepanjang jalan mengobrol saja.
Tiba di Muara Labuh pukul 3 subuh. Kawan saya langsung larut dalam duka bersama keluarga. Saya memilih beristirahat. Esoknya, prosesi pemakaman dan lain-lain dilakukan. Saya ikuti semua, sampai akhirnya semua selesai dan dimulailah perburuan ke lembah dan lereng Bukit Barisan yang memanjang dari Sumatera Barat hingga Jambi. Perburuan udara segar yang di kampung saya sedang mahal sekali.
Benar, hutan di kawasan ini relatif masih baik. Memang sesekali tampak lewat truk tronton mengangkut kayu gelondongan. Tetapi konon baru berlangsung dua tahun terakhir, ketika kebijakan mengenai HPH diperlonggar untuk kawasan hutan tertentu di luar area cagar alam. Selebihnya, di kiri-kanan sepanjang jalan adalah bukit-bukit hijau dengan hutan pohon besar. Sesuatu yang sudah sulit saya jumpai di Kalimantan.
Ketika pergi ke daerah Sangir, kota kecil di utara Muara Labuh, saya sempat takjub menjumpai sebuah air terjun di pinggir jalan. Posisinya berada di bawah jembatan yang membentang di atas kali berbatu. Penduduk setempat tampak lalu-lalang tanpa menoleh, seolah keindahan alam itu telah menjadi hal biasa bagi mereka. Padahal, buat saya, ini sebuah keajaiban.
Saya juga menemukan keajaiban lain ketika dalam perjalanan pulang dari Muara Labuh menuju Padang, singgah ke dua danau yang posisinya berdampingan. Yakni Danau Di Ate dan Danau Di Bawa (Danau Di Atas dan Danau Di Bawah), yang berada di kawasan Bungo Tanjung, Alahan Panjang.
Menurut West-sumatera.com, meski berdekatan, kedua danau ini tak saling berhubungan. Air dari Danau Di Atas tidak mengalir ke Danau Di Bawah. Begitu pula sebaliknya. Danau Di Atas termasuk kategori danau yang dangkal, di mana kedalamannya hanya 44 m. Sedangkan Danau Di Bawah diperkirakan kedalamannya mencapai 884 m. Bahkan penduduk setempat tidak berani menggunakan perahu sampai ke tengah danau.
Danau Di Bawah memiliki misteri yang unik, karena samapai saat ini belum diketahui ke mana air danau yang sejuk ini dialirkan. Hal ini masuk akal mengingat tidak ada sungai besar yang berhulu di Danau ini. Berbeda dengan Air Danau Di Atas yang merupakan hulu sungai Batanghari yang mengalir membelah Pulau Sumatera dan bermuara di Selat Malaka. Sebagian penduduk percaya bahwa air Danau Di Bawah mengalir melewati sungai di bawah tanah yang muncul di daerah Jambi. Namun belum ada penelitian ilmiah berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Bayangkanlah satu situasi berikut; Anda berdiri di sebuah bukit. Memandang ke Utara terhampar Danau Di Atas yang airnya biru tenang. Menoleh ke Barat ada puncak Gunung Talang yang tertutup awan. Setelah itu tengoklah ke Timur, betapa indah panorama Danau Di Bawah dengan latar belakang pegunungan Bukit Barisan. Kalau Anda sudah membayangkan dan merasakan betapa nyamannya, maka, saya harus bilang; saya sudah mengalaminya sendiri dalam wujud yang nyata. ***
saya sedang “Bayangkanlah satu situasi berikut;” ngebayangin aja udah sejuk banget rasanya, apalagi merasakan langsung elusan angin di wajah…
Wah asyik juga travelling di negeri awan daripada negeri asap. Fotonya bagus om.
Subhanallah indah sekali pemandangannya..berapa hari di sana, pak? danau ate dan Bawa indah sekali, wah kalao saja saya di sana..saya pasti susah diajak pulang
Seindah2anya negeri orang, masih lebih indah dan nyaman negeri sendiri – apalagi kalau gak pake asap…
Kayaknya liburan nanti karus bener2 nyobain main di sawah deh… anak kampung yang udha lama blom menjejakkan kakinya pada lumpur sawah itu 🙂
Sekali lagi terima kasih Om,
Yang telah menambah publikasi ke dunia maya tentang keindahan kampungku, mang kesana maren mana2 aja om??
FYI : Untuk nambah pengetahuan indah kampung kami, silakan juga liat http://www.west-sumatra.com
Juga sekalian ngundang oom win yang hobi foto kesana.
Maaf yak, iklan… 😛
Laporan pandangan mata yang bagus.
Wah, dari dulu saya malah mengimpikan bisa ke Sumatera Barat… belum pernah kesampaian…
Jepretan FOTONE tetep maut…. Salut aku… 😉
udah kangen juga sama hawa sejuk pegunungan, udara bersih bebas polusi.liat foto mas win jadi pengen kesana deh…segeeeer!! 🙂
liat fotonya saja rasanya sudah suejuuk. Di kasih liat ke teman-teman di kalimantan sana ga tuh? Mana tau asmanya pada sembuh 😀
Maooooo kesanaaaaaaaaaaaaaaaa :((
Wuaw luar biasa sementara di banua luar binasa he he he
Iyakan banyak pengemar dan peindu. Bayangin bagus, sejuk, dan … damainya (yang terakhir saya tidak terlalu yakin he … he …). Saya lahir dan dibesarkan di daerah seperti itu. Namun, orang Minang bilang punya petuah kira-kira begini: Kalau cinta kampung tinggalkan biar rindumu adalah hidupmu.
waaa mupenk euy…
pemandangan yang, sebenarnya, indah, ya?
saya suka photonya… sejuk
Saya jadi kangen kampung saya nih pak.. terima kasih sudah mengabadikannya. 🙂
Jadi ingat kampuang Boss……
Mengerikan memang asap ini, apalagi jika asap tersebut sampai membuat kerugian.