Bukan salah hidung menghirup… salah udara tak kunjung bersih…
Inilah kabar buruk yang harus saya bagi kepada Anda. Sampai hari ini, setiap pagi, saya masih harus bersin dan batuk-batuk. Asap menyaput seisi rumah, menyatu bersama oksigen yang menghidupi saya dan keluarga. Baunya menyengat, membuat semua pakaian beraroma tak nyaman.
Cara paling mudah membayangkan bagaimana asap itu menemani hari-hari kami adalah seperti ini; Anda pernah melihat orang membakar semak? Dan dari bakaran itu keluarlah asap? Nah… masukkan kepala Anda di kepulan asap itu. Seperti itulah yang kami alami. Setiap pagi, asap menyelinap dari semua lubang ventilasi bersama hawa dingin musim kering. Sungguh tidak nyaman.
Di koran dan televisi para pejabat masih sibuk berdebat. Presiden bilang pemerintah menyiapkan dana Rp100 miliar untuk menanggulangi asap. Mulai urusan bikin hujan buatan, memaksimalkan armada pemadam di darat, sampai teknologi waterbombing yang didukung pesawat dari Rusia. Toh, semua masih wacana. Tak ada tanda-tanda penanggulangan yang segera.
Penduduk yang hidup di negeri asap ini sebenarnya punya trauma. Tahun-tahun sebelumnya, hujan buatan dilakukan ketika musim kering sudah hampir berakhir. Hujan mengguyur karena memang musim penghujan tiba; dan para pelakon hujan buatan bilang bahwa itu karena pekerjaan mereka.
Kaum muslim menggelar salat Istisqo, berharap kemukjizatan datang dari Tuhan demi hidup yang lebih baik. Beberapa tahun yang silam, saya ingat, setelah salat Istisqo itu, hujan benar-benar turun dengan lebatnya. Dalam waktu dua jam udara di kampung saya menjadi bersih. Tapi orang-orang harus menghadapi persoalan baru; banjir di mana-mana.
Begitulah, tinggal di belahan bumi tropis ini, meski hanya dengan dua musim, keduanya sama-sama membawa persoalan. Banjir menjadi ancaman rutin setiap musim penghujan. Orang lantas berdoa supaya musim hujan segera berakhir. Doa yang makbul karena begitu hujan tak lagi turun, kemarau datang bersama tanah bengkang dan asap yang menyesakkan.
Toh kita tetap tak boleh menyalahkan alam, apalagi menuding Tuhan sebagai pangkal persoalan. Kearifan terhadap bumi memang semakin menipis. Hujan tak mungkin menghasilkan banjir bandang andai saja hutan-hutan tak ditebang. Kemarau pasti menjadi musim panas yang menyenangkan seandainya tak ada yang membakar lahan.
Beberapa kawan dari kota-kota lain yang aman dari asap bertanya bagaimana kabar saya. “Apa yang kau lakukan?” kata mereka. Saya tak punya jawaban yang lebih baik selain berkata bahwa inilah hidup yang harus dijalani. Apalagi saya tidak sendiri. Ada berjuta-juta jiwa yang kehilangan hak untuk bernapas dengan lega. Beberapa di antaranya harus dibawa ke rumah sakit dan sebagian lagi meninggal karena ISPA.
Dalam situasi di mana tak ada pilihan lain kecuali harus tetap hidup, kami memang mesti rela memenuhi sel-sel tubuh dengan oksigen bercampur racun.
Atau… Anda punya ide yang lebih baik?
[lihat foto satelit titik api di Kalimantan dalam ukuran besar di sini]
kalo keyakinan petani bahwa abu sisa pembakaran akan menyuburkan tanah. Sampai kapanpun pola pembakaran lahan akan dilakukan terus.
Perlu ada edukasi dan pendampingan atas kesadaran masyarakat sekitar hutan bahwa dg pembakaran dlm pembukaan lahan akan merusak unsur hara, itu yg perlu ditanamkan. Dan seperti pendapat Mentri Lingkungan Hidup Malaysia, kalo perusahaan yg melakukan,dibikin bangkrut alias ditutup.
Dan sampaean bisa minta kolom khusus dikoran sampean dan LSM tuk mengajak masyarakat berkampaye penanggulang kebakaran hutan.Memang sih jangka panjang, tidak semudah membalik tangan. Kali gitu ya…?
Wawancara dengan Asap di Sebuah
Negeri yang Hutannya Selalu Terbakar
Tanya: Siapakah sebenarnya Anda, Wahai Asap?
Jawab: Siapa saya? Saya kira tak akan ada
yang pernah bertanya tentang siapa saya.
Senang sekali rasanya seandainya saya bisa
menjelaskan pada Anda siapa saya sebenarnya.
Tanya: Jadi, Anda ini siapa sebenarnya?
Jawab: Manusia sejak pertama menyalakan api
di dunia tak pernah peduli pada kami, pada asap
yang selalu hadir sebelum api, hadir bersama api,
bahkan tetap ada sesudah api mati. Tetapi, manusia
memang tak pernah mau menganggap kami penting.
Bukankah kalian selalu berkata, “ada asap maka ada
api?” Jadi kami hanya kalian jadikan tanda, kami hanya
isyarat bagi keberadaan api yang kalian sengajakan.
Tanya: Saya belum mengerti, siapa sebenarnya Anda?
Jawab: Ketika kami mengepung kota, bandara,
pelabuhan, sekolah dan rumah-rumah, maka kalian
bertanya, siapa yang menyalakan api? Siapa yang
membakar lahan dan pohon-pohon hutan? Siapa
yang hendak membuka kebun berjuta hektar luasnya?
Siapa yang menyulut ladang gambut? Dimanakah
titik-titik panas api tertangkap satelit? Tidak pernah
ada yang peduli tentang kami, bukan? Kalian sibuk
melacak jejak panas dan api, padahal mereka pasti
telah mati ketika kami sampai ke depan pintu dan
jendela rumah kalian di kota-kota yang jauh dari hutan
dan ladang tempat awal kami memulai perjalanan.
Tanya: Wah, Anda belum menjelaskan siapa Anda?
Jawab: Kami adalah sahabat angin yang tahu harus
meniup kami kemana, kami adalah sahabat angin
yang tahu kapan harus menurunkan dan menaikan
kami di angkasa, kami adalah sahabat angin yang
suka memainkan angka-angka pada alat pengukur
pencemaran udara yang kalian pasang di kota-kota,
kami adalah sahabat angin yang suka menyeludupkan
kami menembus masker yang kalian pasang di
mulut dan hidung kalian, kami adalah sahabat angin
yang ingin menyembunyikan langit dari pandangan
kalian tapi kalian tak pernah merasa kehilangan.
Tanya: Tolong, jelaskan dengan cara sederhana
siapakah Anda sebenarnya?
Jawab: Kalian tidak akan pernah mengerti siapa
kami sebenarnya, kecuali nanti jika mayat kalian
telah dikubur atau dibakar, ada asap bening yang
tersuling dari tubuh kalian setelah nafas terakhir
dihembuskan, tapi pada saat itu kalian tak perlu
lagi bertanya karena telah mengerti sepenuhnya
siapa diri kalian dan siapa kami yang sebenarnya.
liat gambar satelitnya…tak pernah terbayangkan asapnya sampai segitunya
moga2 aja hujan segera turun…secukupnya…jangan sampai banjir 🙂
bikin novel pakai judul “Negeri Asap” romantis juga kedengarannya…
di kampungku saat penghujung musim kemarau adalah saat yang tepat untuk membakar ladang. jadi maafkan kami yang hidup dari berladang, mungkin asap hasil pembakaran dari ladang kami terbang mengembara kemana2. pun kalau kami tidak berladang, bagaimana kalian akan menikmati padi, jagung, singkong, pisang, hingga getah karet yang kami tanam pada akhir ritual berladang.
pemerintah & janji : dah basi dah gombal…. jgnkan asap janji dana pendidikan dan korban gempa jogja ajah masih lontang lantung !
Umumnya pembakaran di lakukan oleh pengusahaan kealapa sawit dan sebagian masyarakat untuk membersihkan lahan secara mudah dan hemat tanpa memikirkan asapnya…
Wah Win, ngga kebayang gimana ya hidup di tengah-tengah asap seperti itu. Di Singapura aja yang cuma kena “imbas”-nya, udah cukup bikin ngeselin. Radang tenggorokan saya ngga sembuh-sembuh udah seminggu terakhir, terus anak saya juga sempet sakit demam dan disuruh istirahat tiga hari sama dokter, katanya juga karena asap yang jadi penyebabnya.
*sigh*
serba salah juga ya mas..tapi kejadian kebakaran hutan atopun bajir bandang disana ga lepas dari tangan jahat manusia yang ga bisa memelihara kelestarian alam.
sabar deh mas..moga ajah keluarga juga selalu dalam keadaan sehat *ISPA lagi jadi ancaman tuh* ya 🙂
Saya sangat setuju dengan kalimat dalam artikel di atas: “Hujan tak mungkin menghasilkan banjir bandang andai saja hutan-hutan tak ditebang. Kemarau pasti menjadi musim panas yang menyenangkan seandainya tak ada yang membakar lahan”.
btw, Saya ikut prihatin dengan kondisi yang kamu (dan seluruh warga) alami saat ini. Meskipun PRIHATIN tidaklah dapat mengatasi masalah yang ada, maka di bulan yang penuh berkah ini, Saya berdoa semoga semua permasalahan yang menimpa kalian akan segera berakhir.
Yah …
beginilah hidup di neragar yang pemimpinnya masih banyak yang tidak cerdas. Panas kekeringan, keasapan, dan penyakitan … hujan kebanjiran, petaka, dan penyakitan
Coba adalah yang tahu berapa dana untuk departemen kehutanan; kita punya doktor, sampai fakultas kehutanan, departemen dan dinas kehutanan, lengkap dengan litbang … hasilnya?
GUNDUL … trus petaka.
Singapura marah-marah dan uang hasil jarahan hutan di parkir disana oleh yang empunya … kita takluk.
Wah-wah, negeri ini memamng pantas didenda karena bukan warganya pintar, tentunya.
di pekan baru jugah asepnya ngga ketulungan
kebakaran hutan? ini pasti El-Nino biangnya!
kampung kebanjiran? ini pasti La-Nina biangnya!
soal hujan buatan, sepertinya kita selalu terlena dgn teknologi ini dan menganggap dia bisa menyelesaikan masalah kebakaran hutan ini. mungkin perlu ada Front Pembela Hutan yang siap bertindak tegas menyeret para pembakar dan penebang hutan ke polisi dan pengadilan…
negeri menuju kehancuran…hiks…hiks…MY GOD!
saya meminta kiriman video banjir dijakarta…
sampai saat ini saya masih binggung untuk kapan saya bisa pulang kejakarta, klo keadaan masih banjir seperti in…
Saya juga turut berduka dengan adanya keadaan bencana diindonesia yang tiada hentinnya…
minta pengertiannya kepada pemerintah indonesia untuk dapat cepat mengatasi masalah ini…
kejadian ini buka hanya sekali dua kali dinegara kita.
juga diminta agar dapat cepat mengurangi masalah penganguran dinegara kita…
hidup tidak seindah dengan apa yang kita bayangkan BUNG…
lihatlah kedepan untuk anak negeri kita kedepan…
atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih…