Akhir pekan tadi, setelah berbulan-bulan tidak menikmati live music, saya bersama beberapa kawan kembali masuk ke sebuah pub. Duduk di kursi terdepan (karena hanya itu yang masih kosong) dan berada sangat dekat dengan gadis-gadis penyanyi yang malam itu tampak sangat seksi; dadanya tubuhnya dibalut baju ketat warna terang, sementara punggung dan perutnya dibiarkan terbuka.
Mereka bukan grup musik pendatang. “Ini penyanyi lokal,” kata kawan di sebelah saya. Sebab yang berstatus grup pendatang (biasanya dari Jakarta atau Surabaya) ternyata masih lebih seksi lagi.
Persis di seberang saya duduk seorang gadis yang diapit dua pria. Saya sempat tercengang ketika memperhatikan, sang gadis tampak mesra menggamit lengan pria di sebelah kanannya, tapi pada saat yang sama pria di sebelah kiri juga menggenggam erat tangan kiri gadis berparas ayu itu. Mungkin mereka tiga bersaudara. Mungkin juga trio sahabat. Tapi, ya entahlah.
Saya mengalihkan pandangan ke sebelah kanan. Di sini ada dua kelompok. Yang di ujung duduk tiga pemuda. Di tengah mereka seorang gadis cantik tampak tertawa-tawa. Beberapa saat kemudian baru saya tahu kalau gadis itu adalah salah seorang penyanyi yang akan tampil pada sesi berikutnya.
Kelompok yang satu lagi tak begitu menarik. Dua wanita setengah baya bersama dua pria yang juga setengah baya. Dari gayanya, saya menebak mereka pasangan suami istri yang lagi pengen santai mendengar musik. Entah takjub dengan penampilan para penyanyi, atau memang tak berselera menggerakkan tubuh, sepanjang saya perhatikan mereka berempat adalah penonton paling tertib; tidak ikut menghentakkan kaki, menggoyang kepala atau lebih-lebih turun ke lantai dansa. Ya, mereka duduk manis seperti sedang mendengar pidato pejabat.
Pemandangan yang lebih menarik sesungguhnya ada di belakang saya. Sekelompok anak muda, mungkin limabelasan orang, asyik-masyuk berajojing mengikuti irama musik. Saking hebohnya, tawa ceria mereka kadang-kadang lebih dominan dari musik yang sedang dimainkan. Saya penasaran hingga akhirnya menengok beberapa kali ke belakang. Tak begitu leluasa, karena persis di belakang tempat duduk saya juga ada sepasang pria-wanita yang saling dekap dan tampaknya sedang ingin mendapat privasi di tempat umum itu. Lagi pula saya jadi nggak enak sendiri karena setiap menengok ke belakang mereka seperti terkejut dan dengan refleks mengendurkan dekapan.
Saya berhenti menengok ke belakang saat irama musik seperti magnet yang menarik para pemuda heboh itu ke lantai dansa. Mereka menyerbu bersama dan sekarang berjoget di depan saya. Tadinya saya happy saja karena dengan begitu bisa memperhatikan ekspresi mereka satu per satu. Tapi lama-lama menyesal juga karena penyanyi-penyanyi seksi -yang betapa pun masih menjadi pemandangan paling menarik malam itu- terlindung entah di bagian sebelah mana.
Musik terus menghentak dan sepertinya para pemuda itu semakin larut dalam gerakan yang sungguh tak teratur samasekali. Tapi saya tetap memperhatikan. Hingga akhirnya saya temukan sadari justru ketidakteraturan itulah yang menciptakan sebuah harmoni; kadang monoton, kadang liar, tapi tetap ritmis.
Segelas minuman sudah lebih dulu tandas. Berbatang-batang rokok juga tinggal tumpukan puntung yang tergeletak di asbak. Orang-orang masih asyik berjoget saat saya menyelinap ke toilet untuk buang air kecil. Tapi pintu toilet tertutup, tanda masih ada orang buang hajat di dalamnya. Saya menunggu beberapa saat hingga mendapat keterkejutan baru; dari dalam toilet itu, keluar dua pria muda yang tampak tergesa-gesa. Salah seorangnya masih memegang rokok, sementara yang satu lagi tampak sibuk membenahi resleting celana.
Untungnya saya bisa menyembunyikan keterkejutan sambil menyapa mereka dengan senyum. Saya sebenarnya menghindar berpikir macam-macam dengan pemandangan barusan. Tapi sel-sel otak di balik batok kepala ini tetap saja memaksa menduga-duga, misalnya saja, mereka itu baru selesai transaksi narkoba, atau membicarakan sebuah rahasia, atau lebih parah lagi melakukan sesuatu yang rada saru. Di dalam toilet, saya perhatikan sekeliling sambil mempertajam indera penciuman. Tak ada yang aneh, kecuali kenyataan bahwa, seperti juga kebanyakan WC umum, kloset di toilet itu tak disiram.
Selesai buang hajat, saya balik lagi ke tempat semula. Sampai grup musik berikutnya, saya tetap membetahkan diri di pub itu. Orientasi pun berubah. Semula sekadar hendak santai mendengarkan musik. Belakangan jadi lebih tertarik memperhatikan suasana di sekeliling. Apalagi musik yang tampil kemudian sungguh tak memenuhi syarat untuk bersantai. Hentakan trash metal, dentuman house music dan bunyi-bunyian alat musik yang bikin pekak telinga.
Pengunjung berangsur pulang. Grup musik itu tetap saja dengan selera mereka. Dua pria yang tampak mabuk (atau pura-pura mabuk) asyik berjoget sambil mencuri-curi kesempatan mendekatkan wajah ke tubuh penyanyi wanita. Pemandangan di depan saya jadi tak karuan. Rasanya malah lebih asyik pesta dangdut di kampung saat acara kawinan.
Saya dan kawan-kawan pulang dengan satu keluhan seragam; telinga kami sama-sama berbunyi nging… nging… dan pendengaran agak terganggu. “Aku khawatir jadi budeg, karena sampai sekarang telingaku masih pekak,” kata salah seorang kawan, keesokan harinya.
Saya bilang, dia nggak perlu khawatir, karena sebudeg-budegnya, dia tetap saya ajak ke pub lagi suatu waktu kelak. “Kalaupun tak bisa mendengar, kau ‘kan sudah cukup betah memelototi penyanyinya yang seksi-seksi itu. Dan itu nggak perlu telinga ‘kan?”
“Iya ya…” katanya, tertawa.
“Wah, untuk urusan begini, telingamu ternyata normal.”
Untungnya telinga saya sudah normal lebih dulu. Sehingga alunan Tears in Heaven-nya Eric Clapton dari MP3 di komputer ini terasa lembut menemani saya menulis. Tiba-tiba saya teringat pub itu lagi. Membayangkan mata saya yang merah dan sesaknya dada karena menghirup asap rokok tercampur napas dan keringat manusia yang tersirkulasi statis di ruangan pengap itu.
Untuk ukuran Banjarmasin, sesungguhnya fenomena ini tak terlalu istimewa. Kota berpenduduk padat dengan tingkat kemacetan yang tinggi -yang artinya kadar stres penduduknya meningkat- ini sangatlah wajar memiliki tempat hiburan sekelas itu. Tempat di mana orang bisa mengekspresikan diri sekehendak hati, berjingkrak-jingkrak tanpa berpikir status sosial, berteriak-teriak bebas tanpa peduli sekeliling.
Seperti mesin kendaraan yang memiliki saluran buangan, tubuh manusia pun tidak sepenuhnya menyerap sari makanan. Ada ampas dan kotoran yang harus dibuang. Ada bagian buruk yang mesti disisihkan. Maka jiwa kita pun seperti itu. Ada saat di mana energi-energi positif dipisahkan dari energi negatif. Pikiran-pikiran buruk dijauhkan dari ide dan gagasan. Jiwa kita juga perlu toilet, kawan! Supaya “aku” yang buruk tidak membunuh “aku” yang baik.
Karena jiwa setiap kita berbeda, maka toiletnya pun berbeda-beda pula. Saya tidak yakin apakah hiruk-pikuk pub itu “toilet jiwa” yang baik bagi saya. Yang pasti, sepulang dari melihat tingkah-polah manusia di sana, saya merasa menjadi lebih baik; sesuatu yang juga kerap saya rasakan sepulang refreshing dari pantai, kemping ke gunung, main biliar, atau sekadar tertawa lepas bersama rekan kerja.
Lantas, sudahkah Anda temukan “toilet jiwa” Anda? Tempat di mana Anda membuang segala hal buruk bahkan sejak masih sebatas pikiran? “Toilet” itu mungkin ada di lapangan sepakbola, di rumah, di arena judi, di tempat pemancingan, di lokasi pelacuran, di tempat kerja, di masjid, di gereja, di mana saja.
Dalam situasi terbaik, “toilet” itu bisa tertanam di dalam hati kita. Ia seperti recycle bin di komputer yang dengan otomatis meng-empty semua sampah secara periodik. Ia seperti bakteri positif dalam tubuh kita yang membunuh semua racun tanpa menunggu perintah. Ia lekat bersama kita, bahkan dalam situasi terburuk sekalipun.
ya….”toilet” masing2 orang emang beda2… cumma.. kan kita berusaha nyari toilet yang bagus juga..
ga mesti tempat dugem, pelacuran dsb yang jelek2 bisa bikin semua sampah kita hilang ditempat itu.. bahkan bisa jadi tempat itu malah nambahin sampah pada diri kita..emang sih, muasin nafsu itu enak..siapa yang ga mau muasin nafsu? orang lagi puasa aja pengennya tetep ngikutin nafsu…tappi, kita kan cuma manusia kecil..kita itu di alam raya ini cuma sebesar debu..jadi jangan sombong.._sikap yang paling baik adalah menceritakan semua masalah kita kepada Allah..karena Allah senang jika kita meminta kepadaNya,karena kalo kita minta, kita pasti memujiNya,dan Allah sengan dipuji.. jadi untuk teman-temanqu,, jangan salah pilih “tong sampah” ya..met menjalani hidup..sukses dunia akhirat.
gmana mas di banjarmasin rame ga?
aq asli sana mas?
masalah tolet jiwa….masih dalam pencarian neh….hehehe
oh yeah