EMPAT lelaki sedang membicarakan istri masing-masing, tentang apa yang telah dilakukannya, yang menurut mereka adalah tindakan bodoh.
Lelaki pertama mulai bercerita, “Istriku kemarin membeli daging dua kilo hanya karena diskon. Padahal sehari kami cuma menghabiskan beberapa ons. Parahnya lagi dia tahu kami nggak punya kulkas.”
Lelaki kedua menimpali, “Nggak beda dengan istriku. Dia kemarin beli bed cover ukuran king size, padahal nggak punya kamar besar.”
Lelaki ketiga berkata, “Sama. Istriku beberapa hari lalu membeli penyedot debu, hanya karena diskon juga, padahal nggak punya karpet ataupun sofa.”
Lelaki keempat pun menyahuti, “Memang, perempuan, kenapa ya mereka begitu bodohnya. Tadi pagi ketika istriku lagi berkemas mau dinas luar kota, aku lihat dia memasukkan 10 kondom ke dalam tasnya. Padahal… dia ‘kan nggak punya yang seperti kita. Memangnya mau dipasang di mana…”
***
Suatu malam yang dingin, saya keliling kota Banjarmasin bersama dua kawan. Yang satu pegawai negeri, punya jabatan lumayan tinggi untuk usianya yang relatif muda, sementara yang satu lagi seorang dosen perguruan tinggi, berjiwa muda, energik sekaligus pandai mencari aktivitas sampingan karena khawatir berlumut di kampus kalau sekadar mengajar.
Kawan saya yang dua tadi sudah berkeluarga bahkan masing-masing punya anak. Tentu sesuatu yang “kurang wajar” untuk ukuran rumah tangga kebanyakan, karena hari itu, meski belum terlalu larut, adalah akhir pekan; hari di mana banyak orang menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah.
“Gara-gara kesibukan seminggu terakhir, istri saya sampai pulang sendiri ke rumah orangtuanya. Perlu strategi khusus untuk melakukan tindakan perdamaian,” kawan yang dosen bercerita.
“Sama saja. Karena kesibukan juga, istriku kada tahu-tahu waktu aku pulang ke rumah. Aku merasakan sikap yang agak berbeda karena tidak biasanya dia absen menyediakan teh hangat dan sarapan pagi,” kawan yang pegawai negeri menimpali.
Entah karena bete urusan di rumah, atau memang kebetulan hendak jalan-jalan cari “angin segar” di luar, yang pasti hari itu kami cuma mengelilingi jalan basah Banjarmasin yang tetap macet meski diguyur hujan. Sampai tiba sebuah keputusan untuk singgah di kedai bakso dan menyantap suguhan hangat.
Lewat komunikasi seluler, seorang kawan lain dihubungi. Dia seorang wanita, manajer muda, orang nomor satu di sebuah perusahaan swasta, masih gadis pula! Dan, jadilah… malam itu, tiga pria, dua beristri dan satu bujang, makan bakso bareng satu meja di sebuah kedai bersama seorang gadis.
Tidak ada yang istimewa. Semua biasa-biasa saja. Perbincangan pun tak lepas dari urusan bisnis dan pekerjaan. Diselingi joke-joke ringan, tawa lepas kami berempat malam itu seakan hendak menunjukkan bahwa betapa pun relationship antarmanusia tak harus dibingkai oleh formalitas dan istilah apa pun. Empat manusia, lain pekerjaan, beda status, bahkan satu di antaranya tak sama kelamin, ngobrol santai sambil melupakan segala urusan serius entah di rumah entah di kantor.
***
Di sudut bumi yang lain, dalam satu lapis waktu yang sudah lewat, saya pernah juga “terjebak” menjadi “teman selingkuh” kawan beristri yang kerap bete. Jangan buru-buru membayangkan “perselingkuhan” itu ada kaitannya dengan seks. Karena selain dalam bahasa Indonesia “selingkuh” itu sangat tidak ada hubungannya dengan seks, (lihatlah kamus bahasa Indonesia, selingkuh berarti tidak berterus terang/tidak jujur), saya juga masih kelewat normal untuk “bergairah” pada sesama jenis.
Bentuk perselingkuhannya waktu itu lebih sebagai “bramacorah”, di mana saya menjadi “beking” agar istri kawan tadi percaya bahwa selarut-larutnya suami pulang, semua karena untuk urusan kantor. Dan saya, mujurnya, selalu menjadi orang yang “dipercaya”. Bahwa sebagian besar urusan “larut malam” tak ada hubungannya dengan pekerjaan, itu lain soal. “Yang penting, istri tidak curiga, rumah tangga aman,” begitu kawan saya beralasan.
Lucunya ini bukan satu-satunya kawan. Banyak kawan lain yang ternyata berlaku serupa. Banyak suami yang “berselingkuh” tanpa sedikit pun menyentuh wanita lain yang bukan muhrimnya. Entah karena bosan di rumah, atau sekadar hendak merasakan saat-saat ceria sebagai bujangan. Banyak suami berselingkuh dengan pekerjaannya, dengan tempat hiburan, dengan meja biliar, dengan kawan-kawan kantor, dengan musik, atau kolam pemancingan, sekadar untuk lepas sesaat dari keterikatan tanggung jawab sebagai suami.
Banyak istri berselingkuh dengan bandar arisan, dengan tetangga sebelah dan lawan ngerumpi, dengan supermarket atau shoping center, atau dengan teman masa SMA, sekadar hendak jauh dari urusan rumah tangga, tetek bengek perkawinan dan urusan dapur.
Karena setiap apa pun perlu jeda. Perlu rehat. Seperti fase “blank” di antara setiap tarikan dan embusan nafas kita, atau tahap penantian dari kematian ke alam perhitungan, atau masa antara hidup dan mati saat kita masih setitik benih di antara jutaan benih lain yang bersaing membuahi ovum.
Begitulah juga hubungan antarmanusia. Persahabatan sejati pun perlu jeda. Cinta istimewa sesuci apa pun perlu jeda. Karena di saat seperti itu, kita bisa merenung dan menimbang-nimbang baik-buruk kelakuan, menangguk ide-ide yang berenang di sungai pikiran, sambil menangkap cita-cita yang sanggup tergapai.
***
Pada puncak pertengkaran mereka, sepasang suami istri akhirnya saling mendiamkan, tidak bertegur sapa samasekali. Pada suatu hari, sebelum naik ke tempat tidur, sang suami menyerahkan catatan kecil pada istrinya yang bertuliskan: “Bangunkan saya besok, jam 4 subuh!”
Keesokan harinya, sang suami baru terbangun jam 8 siang. Ketika sedang tergopoh-gopoh berpakaian, dia melihat sebuah catatan di sebelah bantalnya: “Banguuuun…!!! Sudah jam 4 subuh!!!” ***
I like your blog and I see that you have a good following of people. Take a look at my site and let meknow what you think. I am always looking for some fresh commetns on how we can improve our site. bath tub