Sekadar Catatan Mudik Lebaran (3)
…catatan sebelumnya
Hari masih terlalu pagi untuk bangun. Tetapi mata harus dipaksa membuka karena ternyata sebagian undangan sudah tiba. Saya bergegas ke kamar mandi melawan kantuk yang terlalu berat dengan guyuran air bak. Sebentar lagi prosesi ritual untuk Safa dan Afif akan dimulai. NamanyaGunting Bulu (gunting rambut). Dalam adat Sumbawa ritual ini perlu dilakukan untuk keberkahan anak. Sebenarnya lebih kurang sama dengan prosesi potong rambut yang dalam Islam biasa dilakukan saat tasmiyah atau pemberian nama.
Saya sempat protes ke istri kenapa acara harus dilakukan pagi-pagi sekali. Jam 7 pagi bagi saya adalah waktu di mana tidur sedang nyenyak-nyenyaknya. Tapi ya begitulah. Adat kampung bahkan membuat undangan tiba setengah jam sebelum acara. Mereka tertib dan disiplin tanpa harus diberi undangan tertulis bercatatan; mohon hadir 15 menit sebelum acara.
Seperti dugaan saya, ritual adat ini penuh dengan prosesi yang aneh-aneh. Tengoklah benda-benda pelengkap berikut; seikat dupa yang telah dibakar, sebatang lilin menyala di atas batok kelapa (dalam bahasa Sumbawa disebut Dila Malam), sepiring beras kuning bercampur rempah-rempah, satu tangkup ketan hitam dan ketan putih dihias telur ayam, kembang-kembang tujuh warna dan jenis, seperangkat sesajen berisi buah-buahan dan hasil kebun yang diikat menjadi “atap†di atas kepala – oleh orang setempat disebut Langit Pipis dan sebuah kelambu yang digantung – bernama Boco’ Ngantung.
Setelah doa puji-pujian dan salawat nabi, prosesi pertama dimulai. Saya menggendong Safa sementara Afif digendong kakeknya. Berkeliling ke sebagian orang sepuh mendekatkan kepala Safa dan Afif untuk digunting sedikit rambutnya. Potongan rambut dimasukkan ke dalam kelapa muda yang telah dipotong dengan bentuk bersegi tujuh. Di tengah prosesi tersebut seorang sepuh lain memegang sepiring bara api yang asapnya ditiupkan ke undangan. Sebagian undangan tampak agak terganggu dengan prosesi itu. Entahlah apa pula maksud di balik tiupan asap yang menyesakkan tersebut.
Ritual gunting rambut berhenti di penggunting ke empat. Setelah itu Safa dan Afif harus dibawa ke bagian tengah rumah, di mana beberapa orang tua telah menunggu untuk prosesi berodak, yaitu menyapukan semacam bedak cair di wajah. Dalam adat Banjar di Kalimantan biasa disebut bapupur.
Yang bikin saya kaget, acara berodak ini ternyata diselingi ritual-ritual aneh dengan bantuan dupa dan api lilin. Sebatang lilin di atas batok kelapa (Dila Malam) yang tadinya saya kira hanya sebagai hiasan, ternyata diputar-putar di atas kepala saya dan istri yang menggendong anak-anak. Kemudian, piring berisi bara yang tadi dipakai meniup asap kepada undangan saat gunting bulu, ternyata ditiupkan secara khusus kepada Safa dan Afif. Terang saja bayi-bayi kecil saya nangis tidak karuan.
Saya juga hanya bisa menghela napas ketika kepala saya dipegang dengan telapak tangan si “dukun†sambil dia merapalkan mantra-mantra yang entah apa. Istri saya dapat giliran berikutnya.
Begitulah. Betapa pun saya tidak sepaham dengan ritual-ritual itu, toh sebagai “tamu†saya telah meniatkan diri untuk ikut saja semua prosesi adat. Sekalian menikmati kenyataan bahwa ada sisi lain dunia di mana masyarakatnya masih begitu percaya kepada ritual-ritual seperti itu. Sesuatu yang telah lama ditinggalkan oleh orang-orang pasca era animisme.
Yeah… Inilah juga kekayaan Indonesia yang masih bisa kita nikmati sampai hari ini.
(3 Syawal 1426, …dari Raberas, Sumbawa Besar Nusa Tenggara Barat)
[bersambung ke Hunting Foto yang Tak Kunjung Jadi]
Umai lah, umpat dijamak jualah kepala andika.
Awak mun dijapai biasanya handak disuruh balawan pander atawa bakalahi.
Pabila ka banjar oi….