Saya pernah ngobrol lama dengan Parto, mungkin 7 tahun yang lalu ketika dia bersama Akri dan Eko manggung di Samarinda. Orangnya lucu, lugu, apa adanya, ngga neko-neko, rada ndeso persis seperti gayanya ketika melawak.
Tapi itu Parto 7 tahun yang lalu. Hari ini, Parto sudah semakin beken, berduit, banyak fans, dan sanggup beli pistol lengkap dengan surat izinnya seharga tak kurang dari 20 jeti. Yang cilaka, itu pistol dipakai tidak pada tempatnya. Untung yang di-dor cuman plafon Planet Hollywood. Kalo pas salah sasaran, kena jidat wartawan, apa nggak tambah runyam.
Parto sekarang meringkuk di balik jeruji sel kantor polisi. Dia menuai buah kelakuannya sendiri. Padahal Parto tidak sendiri — setidaknya untuk urusan penyalahgunaan senjata api. Di Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, Kalsel, seorang polisi yang lagi ngepos di pasar menembak mati seorang warga sipil, persis di dahi, entah karena sebab apa. Di Aceh, seorang perwira memberondong prajurit dengan senjata lars panjang hingga melayang 4 nyawa.
Saya bukan pendukung penggunaan senjata api. Saya sih maunya semua senjata dimusnahkan saja, termasuk senjata-senjata canggih tentara Amerika yang hari-hari terakhir ini terus membunuhi orang-orang tak berdosa di Iraq sana. Sebab, jangankan yang sipil tak terlatih seperti Parto, perwira dengan kualifikasi mental dan psikologis “layak memegang senjata” pun bisa asal berondong.
Saya jadi ingat ujaran seorang kawan. Dia bilang, manusia akan terus baku bunuh karena cerita paling lengkap mengenai nenek moyang kita adalah soal berkelahi.